About each other's wounds


Semilir angin juga mentari yang tertutup awan membuat jalanan yang sebelumnya terfatamorgana berubah menjadi sedia kala. Angin sejuk menggugah dirinya turun ke lapangan untuk menikmati embusan pawana. Tentunya juga ditemani papan favorit miliknya. Dua pasang roda yang terus berputar membawanya menuju taman kota. Kala pandangan sengaja dipusatkan pada mesin minuman di sebelah lampu temaram, kakinya dihentakkan ke atas tanah, berhenti sebentar untuk membeli soda kesukaan.

Sekitar lima belas kaki dari tempatnya berpijak, didapati gadis dengan rambut sebahu tengah melamun—menatap jalanan yang kosong. Dari punggungnya saja ia langsung mengenali siapa gadis yang tengah duduk di seberang.

Ia memasukkan lagi selembar kertas berwarna ungu ke dalam lubang mesin. Sekaleng minuman keluar dari bagian bawah mesin penjual otomatis. Sekarang ia menggenggam dua buah kaleng soda. Lelaki itu melangkah mendekati gadis yang terduduk di bangku taman. Saat langkahnya sampai di belakang gadis itu, ia berniat menaruh kaleng dingin pada pipi kanan sang gadis, tapi sebelum sisi kaleng itu menempel pada pipi, tiba-tiba tangannya dicengkram sekuat tenaga. Membuat kejutannya gagal, yang didapat hanya ia yang meringis kesakitan.

“LEPASIN! SAKIT NJIR!” Yanggi buru-buru menepis tangan gadis yang mencengkram tangan kanannya.

“Eh?” Ramona menoleh, ia baru sadar orang itu adalah Yanggi. “Eh maaf, gue kira orang aneh.”

“Orang aneh?” tanya Yanggi sembari memilih duduk di sebelah Ramona. Sementara tangannya memberikan sekaleng soda pada gadis itu.

“Di berita lagi rame penculikan 'kan?” Ramona menerima pemberian Yanggi.

“Hahahah, siapa yang mau culik cewe freak kayak lu.”

“HAHAHAH!” Gadis itu tertawa lepas, seakan rasa lelahnya telah hilang dalam sekejap.

“Kenceng banget ketawa lu.” Jauh dalam lubuknya, sebenarnya ia senang bisa mendengar tawa itu lagi.

“Gue kangen bangett dibilang freak sama lo.”

Gadis itu mulai lagi, tidak bisakah ia berhenti mengucapkan kata yang biasanya diucapkan sepasang ... kekasih?

Entahlah, Yanggi hanya menggaris bawahi ucapan kangen, seakan-akan gadis itu benar-benar menunggunya.

“Lu ... beneran jauhin gua?” ucapnya mengganti arah percakapan.

“Tapi sekarang lagi deketan tuh?”

“Serius dulu napa?”

“Hahahah, iyaaa ... Itu mau lo, 'kan?”

“Ram,” panggilnya dengan nada baritone. “Gua minta maaf.” Sepasang manik itu sekarang ditujukan ke arah gadis di sebelahnya.

“Kok malah lo yang minta maaf?”

“Gua udah keterlaluan ...?”

“Iya emang,” balas Ramona membenarkan. “Masa ya, gue gak boleh chat sama temen gue satu-satunya?”

“Hampa tau gaak si?” tambah Ramona.

“Gua juga ... sepi gak ada lu.”

“Yang,” panggil Ramona. “Gue minta maaf karena terlalu ikut campur urusan orang, sok ngasih solusi.” Gadis itu menunduk, menghela napas kasar. “Gue cuma ... gak mau lo jadi kayak gue.”

“Maksud lu?”

Ramona mendongak, menatap Yanggi di sampingnya. “Gue juga sama, Mamah juga meninggal.”

Ucapan Ramona barusan berhasil memusatkan penuh atensi Yanggi padanya. Pemuda itu terdiam, mulai mendengarkan dengan seksama.

“Gue pernah ... hampir nyerah karena Mamah bunuh diri.” Semampu mungkin gadis itu menahan sekumpulan air yang siap jatuh membasahi pipi.

“Sekarang gue cuma ikut Papah sama selingkuhannya itu. Gak ada kasih sayang sejak Bunda meninggal.”

“Ayah juga udah kehipnotis sama istri barunya ... padahal waktu masih ada Mamah, dia sayang banget sama gue.”

“Kadang ... gue iri sama lo, hahahah.” Ramona tertawa getir. “Bisa tinggal di rumah sendirian, tanpa harus dibentak atau jadi bahan pelampiasan di rumah.”

Ia menatap gadis itu penuh belas kasih. Yanggi tidak pernah menyangka kalau gadis pemilik senyum paling cerah itu juga punya banyak penderitaan.

“Iya, gua tinggal sendiri. Ayah tiap bulan cuma transfer uang, tapi gak pernah jenguk gua sekalipun.”

Kini giliran ia yang bercerita. Kalau kalian ingin tahu, Yanggi tidak pernah dan tidak akan pernah menceritakan kisahnya kepada siapapun. Tapi untuk pertama kalinya, ia berani membuka suara demi gadis itu.

“Oh, tapi nggak juga. Kadang dia lupa transfer sampe setahun? Jadi ya gue suka ikut skateboard competition gitu di festival kota, hadiahnya kadang ada yang lumayan sih.”

“Jujur, gua gak mau gunain uang dari orang yang gak tanggung jawab.”

“Tapi mau gimana lagi ... balik ke kenyataan aja.”

“Lu mau makan apa kalo gak pake uang? Belum juga ada tagihan listrik.”

“Gua juga pernah kerja sambilan di toko, tapi berantakan juga akhirnya.”

“Tinggal sendirian gak semudah itu, Ram.”

“Iya ....” Ramona menjawab lirih. Seharusnya ia bersyukur bisa makan dan minum secara gratis. Tapi tetap saja ... Ayahnya juga tak acuh pada Ramona. Ibu tirinya berhasil merenggut kasih sayangnya.

“Gua gak tahu ya ... sebenernya dia masih sayang sama anak pertamanya ini atau enggak,” ungkap Yanggi. Ramona refleks menoleh, kalimat yang Yanggi ucapkan sama persis seperti yang ada dalam benaknya.

“Ayah nikah lagi, tinggalnya juga sama keluarga yang baru. Gua bahkan gak tahu dia tinggal dimana.” Yanggi melanjutkan kalimatnya. “Udah jadi tahun ketiga, gua sendirian di rumah itu. Eh? Maksudnya bareng Louis juga.”

“Ram.” Netranya kembali beralih ke arah Ramona. Cukup sampai sini ia bercerita.

“Lu gak bakal pindah lagi, 'kan?” sambungnya penuh harap.

“Gak tahu juga.”

Ramona memang belum tahu. Dua Minggu tinggal di kota ini, hanya bisa berharap agar hari esok tidak akan ada truk pengangkut barang di depan rumahnya.

“Cuma lu yang ngerti gua, kata-kata lu waktu itu bener juga. Gak ada yang salah dari kata-kata lu. Gua cuma kesel aja ada yang ungkit tentang bunda.”

“Jadii, gak jadi musuhan nih?”

“Jangan, gua gak mau lagi kehilangan orang yang gua sayang.”

Entah kenapa jantungnya berdegup kencang, kedua pipinya merona. Gadis itu terhenyak hanya dengan satu kalimat.

“Dangdut banget, HAHAHAHH!” Ia tak boleh nampak seperti kepiting rebus, Ramona berusaha sebaik mungkin tidak terlihat canggung.

“Eh? Lu salting?” Percuma saja, lelaki itu menyadari setiap gerak-gerik Ramona.

“Hah engga?”

“Itu merah banget pipinya, hahahah!” Yanggi terkekeh. Baginya sangat lucu melihat gadis itu salah tingkah.

“ENGGAA!!”

“HAHAHAH! Akhirnya bisa juga bikin lu salting.”

“Udah ya, gua mau pulang! Dicariin Katty!” Ramona buru-buru meraih papan miliknya, bergegas meninggalkan Yanggi. Rasanya ingin menyatu dengan alam sekarang juga.

“Ram!” Teriak Yanggi pada Ramona yang sudah meluncur jauh di depan.

Ramona memblokir skateboard-nya dengan sekali hentakan, menghasilkan bunyi berdecit pelan.

“Besok jam empat! Gua tunggu di sini!”

Tak kuasa melihat respon gadis yang telah berubah menjadi kepiting rebus, Yanggi membalikkan badan, ikut pergi meninggalkan taman dengan berjuta kupu-kupu yang menggelitik perutnya.