don't come near me

Setiap jam istirahat ia habiskan di sini—tepat di belakang bangunan kamar mandi khusus murid laki-laki.

Yanggi tengah sendirian, menyesap sepuntung marlboro yang ia selipkan diam-diam di dalam saku celana.

Karbon monoksida yang dihasilkan menyebar ke segala penjuru—membuat siapa saja yang lewat, memilih membalikkan badan, tak kuasa dengan asap yang mengepul memenuhi ruangan.

Tidak ada yang berani mengusik seorang pecandu nikotin di sini. Bahkan teman dekatnya pun tak mau turut merokok atau sekedar membahas anak perempuan cantik di kelas sebelah. Jika batang rokok sudah habis sebagian, artinya tidak boleh ada yang mengganggu. Tempat ini resmi menjadi markas dirinya seorang diri, tidak boleh ada pengganggu.

“Wassupp!”

Yanggi tersentak, sedikit lagi bisa saja ia menelan sebatang rokok.

“Ngapain lu di sini?” protes Yanggi seraya mematikan api yang masih menyala di ujung rokok.

“Cuma keliling sekolah?” balas gadis itu sambil mengedikkan bahu.

“Anak cewe mana yang keliling sekolah sampe belakang WC cowo??” timpal Yanggi dengan dahi mengernyit.

“Kan belakangnya, bukan WC-nya.” Gadis itu mengelak. Posisi berdiri sekarang telah ia ubah menjadi duduk di atas tumpukan batu bata besar.

Yanggi memutar bola mata malas, hendak mengusir tapi ia tahu pasti percuma. Ia tak menggubris, melanjutkan menyesap puntung rokok yang tersisa.

“Nih, yupi.” Gadis yang berjarak satu meter di depan, menyodorkan sebuah permen rasa stoberi kepadanya.

Yang ditawari hanya menatap sinis, maksudnya, bagaimana bisa dengan santainya gadis itu menyodorkan sebuah permen saat ia tengah menyesap nikotin?

“Kok diem aja? Nih ambil, pengganti rokok!”

“Lu boleh disini, tapi jangan ganggu gue. Bisa?”

“Nggak lah, kalo diem doang ya mendingan gue ngobrol ama pak satpam.”

“Yaudah sono.”

“Heh!!”

Yanggi baru saja hendak mengambil sebatang lagi dari kardus kecil, namun gerakannya terhenti oleh teriakan sang gadis.

“Apaan si?!”

“Dibilangin inii, makan yupi!!”

Kesabarannya menipis, Yanggi menggertakkan giginya. Sebuah 'yupi' itu berhasil membuat raut wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat.

“IYA ENGGAK! GUE DIEM.” Gadis itu bungkam, memilih mengalah. Kalau tidak, bisa saja ia diusir paksa sekarang juga.

“Eh iya, maaf tadi udah buat lo jatoh.” Selang beberapa detik, gadis itu membuka suara. Tentu saja tidak mungkin ia bungkam seketika, gadis itu tidak bisa.

“Ck,” decak Yanggi seraya mengalihkan pandangannya, meremehkan gadis di hadapannya, seolah-olah kata maaf itu sudah basi.

“Cak cek cak cek, bales iya kek? apa kek?” papar gadis itu dengan nada meninggi.

“Lu niat minta maaf gak si?” cetus Yanggi kesal.

Sang gadis mendengus sebal, susah sekali mengajak laki-laki itu berbincang.

“Mendingan lu pergi. Jangan caper, jangan sokap, jangan deketin gue.” Yanggi terbangun dari duduknya, disusul derap langkah kaki menjauhi gadis yang masih sebal dengan dirinya.

“Semakin dilarang biasanya semakin pengen deketin nggak sih?”