Fierce match


Skatepark yang dinamakan savalas itu ramai. Apalagi pada tempat dimana banyak skater yang beradu dengan lintasan, dipenuhi para pemain handal. Mereka lebih sering menyebutnya arena. Arena untuk bertanding saling memamerkan trick extrime yang mereka kuasai.

Seratus khalayak atau mungkin lebih, telah berkumpul untuk menonton pertandingan. Sekilas terlihat seperti pertandingan kejuaraan sungguhan. Savalas memang terkenal, banyak skater dari kota lain juga sengaja datang ke sini.

Di tepi arena, terdapat dua komentator yang tengah duduk sembari menggenggam masing-masing mic di tangan. “Then ... Let's welcome our superior skater!!!” seru Tara sebagai komentator savalas.

“Yaa ... Even though Yanggi is more superior,” sindir Hugo yang juga berperan sebagai komentator.

“HAHAHAHAH!” Tawa para penonton pecah. Penonton sejati savalas pasti tahu, kalau Juno tidak pernah bisa menang melawan Yanggi.

“Our first skater! Juno Bastala!!”

Juno telah bersiap. Ia berdiri tegak di pinggiran flat dan menyiapkan papan. Deru napasnya teratur, seperti yakin sekali kalau hari ini kemenangan akan menjadi miliknya.

“ARE YOU READY?!!”

“YEAAAA!!” Gemuruh teriakan penonton merambat ke seluruh tempat, membuat banyak orang yang sekedar lewat memilih menengok sejenak apa yang terjadi pada skatepark ini.

Juno mulai mengayuh kaki kanannya, sementara kaki kiri tetap berada di atas papan. Tubuhnya condong ke depan. Kemudian ia meluncur bebas ke dalam arena.

“Here we go, he started with back side and ... woow big spins,” komentar Tara dari kejauhan.

Beberapa trick mulai dimainkan, saat sampai di bibir tanjakan, frontside air juga backside yang dilakukan sukses total.

“Yea and there we go ... frontside air!”

Pada tanjakan selanjutnya, ia menendang papan luncur di udara dengan menggunakan tumit kaki bagian depan dan berbelok seratus delapan puluh derajat pada saat yang bersamaan.

“WOW!! He takes the heelflip in the air and turn a 180 at the same time!!”

“It's overal interesting! it puts you in danger you know?”

“Mungkin Juno lebih pede kalo lawan mainnya cewe apa gimana nih?”

“Hahahah! Hari ini lebih santai ya, No?”

“Yoi Tar, skill dia makin jago aja hari ini.”

Dua komentator itu sedikit mengganggu fokus Juno, tetapi atensinya tidak goyah. Dengan napas tersengal, ia menutup aksinya dengan big spin.

“Okay! That's it Juno with no mistakes at all and also his skills are amazing!”

“Harusnya begini dari kemaren gak sih?” sahut Tara.

“Mungkin udah kena mental dulu bro sama Yanggi,” cibir Hugo.

“HAHAHAHAH!!” Semua tertawa, kecuali Juno tentunya. Ia mengacak rambut. Kesal sekali, bukannya mendapat pujian, dirinya malah ditertawakan.

“And now it's time for ... our new skater, who's electrifying the entire savalas!” sambut Hugo disusul seruan penonton.

Giliran Ramona yang akan menampilkan kemampuannya. Ia meraih papan yang tergeletak di atas tanah, bergerak menuju arena dengan menaiki skateboard. Tapi belum setengah jalan, terasa ada yang mengganjal. Ia sadar, papan ini tidak nyaman seperti biasanya. Roda pada papan miliknya seakan goyah. Padahal saat digunakan menuju savalas, skateboard berwarna merah muda itu nyaman saja ketika meluncur di jalanan.

“Jangan lengah, tadi lu liat kan? Dia gak jatuh sekalipun?”

Yanggi membuyarkan kecemasannya. Ia sudah sampai di pinggir arena. Melupakan kekhawatiran yang ada, Ramona memilih berpikir positif, mungkin itu hanya delusi belaka, mungkin ia begitu gugup, disaksikan banyak sepasang mata membuatnya seolah merasakan kalau skateboard yang dibawanya rusak.

“Ngelamun ya lu?” tanya Yanggi. Telapak tangannya dengan cepat digerakkan ke atas juga ke bawah tepat di depan wajah Ramona.

“Serius? Lo nanyain itu ke orang yang bisa ngalahin lawan terkuat di savalas?” timpal Ramona.

“Yaelahh songong juga ya lu?”

“Awas aja kalo kalah gua penyet juga lu.”

“HAHAHAH! OKAY OKAY!”

Yanggi pergi menjauhi Ramona, langkahnya menuju keluar arena.

“Anjing?!” Belum setengah jalan, ia dikejutkan oleh tabrakan bahu yang sengaja Juno perbuat.

“Galak bener gitu aja sarkas.” gumam Juno tepat di telinga Yanggi.

Yanggi tak menghiraukan lelaki itu, ia tidak mau mencari masalah di tengah keramaian. Ia melanjutkan langkah kakinya menjauhi Juno.

Melirik sekilas apakah Yanggi telah meninggalkan arena, Juno yang tadinya hendak menuju bangku, merubah langkahnya ke arah gadis yang tengah menunggu aba-aba.

“Gua saranin nyerah sekarang, sebelum diketawain banyak orang,” bisik Juno yang sekarang telah berada di samping Ramona.

“Oh, ini yang katanya paling songong di savalas?” sanggah Ramona yang sadar akan kehadiran Juno.

“Gak usah belagu, jangan salahin gua kalo papan lu patah gara-gara roda.”

“Elo?!”

Juno menyeringai, puas sekali melihat reaksi gadis di sampingnya.

“AND THIS IS OUR MASTERPIECE!” Tara mulai berseru. Gilirannya segera dimulai.

“Yaah, waktunya habis, padahal gua udah kasih saran buat nyerah, 'kan?”

“RAMONA QUIMBY!!”

“YEAAHHH!!”

Punggung lelaki itu menghilang dari balik keramaian, meninggalkan Ramona yang berada di ujung tanduk.

Ia mengatur napas lebih dalam, mengusir segala kemungkinan. Lintasan yang akan dilewati lebih extrime dari biasanya. Mau bagaimana lagi, ia tidak mau disebut pengecut karena mundur di tengah pertandingan.

Waktunya telah dimulai. Tubuhnya meluncur bebas, sampai di ujung lintasan vertikal, ia memegang bagian depan papan skate, kemudian kedua kaki disilangkan ke samping, seolah terlihat seperti sedang berjalan di udara. “Oh, ini nggak apa-apa,” batinnya usai berhasil melakukan airwalk.

“Oow, look at that cool airwalk!”

Mengetahui itu, Ramona berniat melakukan trick yang sudah ia persiapkan untuk memukau seluruh atensi di sini. Menuju tanjakan, ia naik dengan posisi membelakang, tubuhnya berputar, hampir melakukan dua kali jungkir balik, dan kemudian turun ke depan. Oh tidak, trick ini membuatnya sangat pusing sampai hampir kehilangan penglihatan.

“WHAT THE FUCK SHE DOES 720 AERIAL?!”

Ia berhasil membuat seluruh penonton tertegun, tapi tepat saat papannya menyentuh dataran, kedua roda depan papan terpental ke sembarang arah, membuat tubuhnya juga terlempar jatuh. Ramona mengaduh pelan, untung saja ia sudah mempersiapkan diri dengan menggunakan helm. Namun, jauh dari tempatnya terjatuh, papan miliknya telah terbelah menjadi dua sebab lemparan yang hebat.

“WAIT WAIT, WHAT HAPPENED WITH HER?!” Kedua komentator itu terperanjat, tidak percaya Ramona bisa jatuh begitu saja. “HE JUST FALLED???”

Semua atensi membeku, banyak yang kecewa. Tetapi bagi savalas yang paham akan dunia skate tetap maklum, trick yang baru saja ia lakukan berhasil, belum ada yang pernah melakukan hal gila semacam itu.

“Ram!!” Yanggi refleks turun ke arena, membuat seluruh savalas kaget dengan sikapnya yang tiba-tiba.

“Lu gapapa??” Kedua tangannya dengan sigap membantu Ramona berdiri.

“Lo gak liat gue mental?? Sakit tau! Aduh ... mana masih pusing juga!” Ramona menggertak kesal, percuma saja, ia tidak mampu berdiri. Kepalanya seolah berputar dan sekarang lututnya berlumuran darah.

“Yaudah sini,” tawarnya sambil membalikkan badan, ia menaruh tangan Ramona pada pundaknya.

“Diliatin ...,” ucap Ramona lirih. Ia khawatir akan menjadi pusat perhatian.

“Lu gak bisa bangun kan? Cepet naik! Atau mau ngesot aja hah?”

Ramona mengangguk, ia menerima punggung Yanggi. Yang menggendong bergegas melangkah meninggalkan arena. Yanggi sudah berpikir kalau gadis itu akan berat, mungkin saja ia akan berjalan tertatih. Namun sebaliknya, ia seperti tidak mengangkat beban, gadis itu ringan sekali seolah sedang menggendong anak kecil berusia tujuh tahun.

“CIEEEEE!”

Oh, ia lupa. Ratusan orang tengah menyaksikan mereka berdua. Ramona dan Yanggi, sebentar lagi nama mereka akan menjadi topik hangat. Bukan sekedar di lingkup savalas, tapi lewat mulut ke mulut atau hanya dengan satu ketikan, seluruh sekolah akan tahu.