Finally we meet

Cuaca hari ini cerah—sangat cerah sampai aku tidak bisa menemukan satupun awan yang terpajang di langit biru. Banyak orang berlalu lalang berteduh di bawah payung yang mereka bawa. Saat ini matahari sedang berada di puncaknya, ditambah pemanasan global yang terlanjur menggerogoti bumi.

Kipas angin ditempatkan di tengah dinding toko—sehingga semua orang kebagian tempat untuk mendinginkan badan. Tapi percuma, aku tetap merasa gerah. Aku selalu merutuki toko kecil ini, membatin kenapa Bu Sarmi—pemilik toko—tidak memasang kipas angin di tempat kasir. Bisakah sekali saja ia memikirkan pegawainya?

Rambut panjangku sudah dikuncir, bahkan aku sudah bersiap membawa kipas tangan dari rumah. Namun, cuaca enggan mengalah. Kesal sekali, ingin rasanya bergegas pulang, lalu merebahkan diri di atas sofa sambil meneguk sekaleng soda.

Ramai pembeli hari ini, tapi suasana hatiku benar-benar buruk. Aku melayani dengan malas—hanya fokus pada barang belanjaan. Malas sekali bahkan untuk sekedar melempar senyum pada pembeli.

“Cuaca hari ini panas banget ya mbak,” ujar salah satu pembeli sembari berjalan mendekati meja kasir.

Pembeli sok akrab lagi, pasti begitu. Entahlah, aku malas melihat wajahnya.

Tanpa menatap wajahnya, aku membalas, “Ya.”

Pembeli itu meletakkan keranjang belanjaannya di atas meja kasir. Aku mulai mengeluarkan satu-persatu barang dari keranjang, lalu memindai barang belanjaan dengan alat scan.

“Mbaknya kok tambah umur tambah cantik?”

“Pake dukun, mas.” Aku menjawab ketus—masih fokus memindai dengan alat scan.

Bisakah dia diam saja dan menunggu? Ini tidak sekali dua kali, banyak pembeli yang sering menggodaku. Anehnya, dari mana ia tahu semakin bertambah umur, aku semakin cantik? Memangnya dia pernah melihatku sewaktu sekolah dasar? Dasar, orang aneh. Tapi aku harus tetap profesional, berusaha menahan amarah, setidaknya aku bisa membalas tanpa menyumpah serapahi pembeli itu.

“Cantik-cantik tapi kok gelang jelek gitu masih dipake?”

Mendengar itu aku terkejut, siapa yang berani bilang pemberian gelang dari Zain itu jelek??

Aku mendongak, ia sengaja sekali ingin membuatku berkata kasar di depan wajahnya. “Jangan sembarangan ya mas! Ini pemberian orang yang saya su—”

Aku bungkam, mulutku tiba-tiba terkunci. Keningku berkerut, netraku menyelidik dari ujung kaki sampai ujung kepala pemuda itu. Maksudku, aku ... tidak salah lihat 'kan?

“Zain?”

“Maaf ya, udah nunggu lama.” Zain tersenyum, matanya ikut menyipit.

Senyum yang sama dan garis wajah yang sama seperti lima tahun silam. Yang membedakan, sekarang tinggi badannya setinggi pintu toko, suaranya juga lebih berat sampai aku tidak bisa mengenalinya.

Dan yang masih tetap sama ... aku memang masih menunggu. Bahkan setelah lima tahun lamanya, aku masih menunggu.

Tapi aku tidak tahu denganmu, apakah kamu sama gelisahnya sepertiku, atau datang untuk sekedar menyapa dan memperkenalkan seorang baru dalam hidupmu.