First Date


Gaun dengan tali tipis melingkar di bahu berkelir biru, tampak kontras dibalut kardigan navy yang ia kenakan. Sepatu model leather membuatnya tampil edgy. Hari ini ia bahkan mengalungkan sebuah liontin pemberian ibunya yang belum pernah dipakai.

“Pfft..”

Ia menoleh, dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki yang tengah menahan tawa melihatnya.

“Tuh kan! Gak cocok gue kalo pake dress!” gerutu Ramona. “Aneh ya ...?” ucapnya sambil menilik sekali lagi gaun yang ia kenakan.

“Nggak kok.” Sebuah senyum tersimpul pada wajah lelaki itu. “Cantik,” ucapnya dengan netra yang hanya terpusat ke arah gadis di depannya.

“Eh?” gelagatnya sedikit kikuk, gadis itu salah tingkah.

“Udah ayo, keburu hujan!” ajak pemuda itu ke arah motor vespa yang dibawanya.

“Mau kemana?” tanya Ramona seraya mengikuti derap langkah Yanggi.

“Ntar juga tahu.”


“Main bowling?”

“Iya,” jawab Yanggi disertai anggukan.

Mereka berdua melangkah ke dalam bangunan luas yang sepi pengunjung. Kamis sore merenggut waktu orang-orang untuk tetap bekerja, paling tidak hanya dikunjungi beberapa anak sekolahan yang baru pulang seusai menempuh pendidikan.

“Aelah, tahu gitu gue pake kaos sama jeans aja!” celetuk Ramona ketika sampai di alley—sebuah arena untuk bermain boling.

“Serius? Lu mau ngedate apa mau maen layangan?”

“Hah?”

“Ck, udah ayo buru!” decak Yanggi seraya membalikkan badan, mengambil dua buah bola yang ditata rapi pada setiap rak.

“Pernah main?”

“Belum, tapi kayaknya seru!”

“Nih!” Yanggi menyerahkan bola biru pada Ramona.

“Caranya?” tanyanya sembari menerima bola sodoran Yanggi.

“Yang dipake, jempol, jari tengah, sama jari manis.” Jari-jari yang ia sebutkan dimasukkan pada tiga lubang yang terdapat pada bola, memberi contoh kepada Ramona yang masih awam.

“Wihh, metal!” Ramona ikut memeragakan, menunjukkan jari-jarinya.

“Gak usah ngada-ngada, cepetan.”

“Dihh, gak seruu!”

Proporsi tubuhnya tegak dengan kaki kiri di belakang kaki kanan. Bola siap dilemparkan, fokusnya tertuju ke arah sepuluh pin yang disusun membentuk segitiga. Kedua kakinya bergerak empat langkah, pergelangan tangan diayunkan bersamaan dengan bola yang dilepaskan.

“Yahh! nggak kena,” keluh Ramona. Bola yang ia lempar malah menggelinding masuk ke selokan—samping papan.

“Coba lagi,” perintah Yanggi dengan nada netral.

Ramona mengambil sebuah bola lagi. Menaruh ketiga jari pada pitch—tiga buah lubang pada bola. Namun, kini tangan seseorang ikut membantu memosisikan dirinya. Kedua tangan mereka bersentuhan. Lelaki itu makin mendekat, membenarkan tangan Ramona sembari memberitahu langkah yang benar, “Jangan gini, rileks aja.”

Ramona menahan napas—dalam jarak sedekat ini bagaimana bisa ia rileks??

Yanggi mundur beberapa langkah, memberi ruang pada Ramona untuk melempar. Sesuai dengan arahan Yanggi, ia melemparnya sekali lagi. Namun, kejadian yang sama terulang kembali. Bola itu lagi-lagi terjerumus ke dalam selokan. “Ah! Gak bisaa!” decak Ramona sebal.

“Liatin.” Ia mengambil posisi berdiri dengan punggung yang tegak. Tangannya diluruskan di samping sambil punggungnya bersandar agak sedikit ke depan. Fokus pada sasaran, ia melepaskan bola dengan stabil tanpa hambatan. Membuat sepuluh buah pin yang tadinya tak bergeming menjadi roboh dalam sekali lemparan.

“Wahhh!” Matanya membola, takjub dengan Yanggi yang langsung berhasil tanpa percobaan. “Lo sengaja ya? Ngajak ke sini biar kelihatan keren depan gue?” ledek Ramona menggoda Yanggi.

“Buat apa? Gua cuma mau ngajarin lu.”

“Kenapa mau ngajarin gue?”

“I wanna hold your hand.”

Ia mengalihkan pandangan, ucapan lelaki itu benar-benar menjengkelkan. Mudah sekali membuat pipinya cepat merona. “Ngapain pake bowling segala sih ... aneh banget.”

“Kalo gua minta terus terang, lu mau?” Matanya menatap gadis itu lamat-lamat. Sengaja, tujuannya membuat gadis itu salah tingkah.

“Eh?”

“Hah eh hah eh mulu?” Yanggi terkekeh pelan. “Makan yuk! Gua laper!” Tanpa aba-aba tangan kanannya meraih lengan kiri Ramona, menggenggam tangan mungil itu dengan erat.


“Kenapa ke sini? Bukannya mahal?”

“Sekali-kali jadi orang kaya nggak apa-apa 'kan?”

“Yaaa terseraaah, asal bukan gue yang bayar.”

Denting alat makan yang terbuat dari logam saling beradu. Aroma steak yang baru masak menguar ke seluruh ruangan. Nuansa klasik dihiasi ornamen-ornamen historis membuat siapa saja betah berlama-lama di restoran ini. Kedua remaja itu duduk saling berhadapan—tampak seperti sepasang kekasih yang tengah berkencan di restoran mewah.

“Pernah pacaran?” tanya Yanggi tiba-tiba.

“Hah? Oh ... enggak,” jawabnya sambil memamah daging yang baru saja dilahap. “Gak ada yang mau temenan sama gue, gimana mau pacaran?” sambungnya seusai menelan irisan daging.

“Kalo suka sama orang, pernah?” Kini pertanyaannya berubah menjadi penasaran.

“Pernah,” balas Ramona singkat.

“Oh ....” Selera makannya menurun. Entah kenapa.

“Tahu? Orangnya siapa?”

“Kenapa tanya gua?”

“Orang yang gue suka ... waktu ditanya, jawabnya, kenapa tanya gua?”

“Gak jelasss.”

“HAHAHAH!” Ramona tertawa puas, sekarang gilirannya membuat lelaki itu salah tingkah.