Sorry, I just wanted to help you


Skateboard lu gimana?” tanya Yanggi kepada gadis yang tengah duduk di sampingnya.

“Gampang beli lagi,” jawab Ramona santai.

“Hahahah, holkay ya lu?” cetus Yanggi sambil menoleh ke arah Ramona.

“Nabung lah, lagian beli yang biasa aja juga bisa,” ucap Ramona sembari balas menatap Yanggi.

“Eh?” Ramona tersentak. Ia kaget dengan Yanggi yang tiba-tiba mengeluarkan obat-obatan dari plastik hitam—yang tadi ia beli di apotek.

Yanggi lantas berlutut di depan Ramona, mulai meneteskan cairan alkohol pada lutut yang terluka.

“Biar gue sendiri,” pinta Ramona.

“Udah lu diem aja.”

“Lo bisa?”

“Lupa? Gua skater, tiap hari jatoh, pastinya jago kalo cuma luka segini.”

Setelah dibersihkan menggunakan alkohol, Yanggi meneteskan beberapa lugol. Terakhir, ia memakaikan perban dengan telaten, berhati-hati agar Ramona tidak merasa sakit.

“Tapi, lo ... pinter ngobatin luka, for a boy.” Ramona menatap netra lelaki di depannya. Tanpa sadar dirinya mengulas seutas senyum.

“Lo juga pinter skate, for a girl.” Yanggi membalas tersenyum, membuat Ramona salah tingkah karena reaksinya yang tiba-tiba.

Okay okayy, you win.” Ramona mengalihkan pandangan. “Gue kalah mulu ngomong sama lo,” ucapnya sambil mengerucutkan bibir.

“Makanya jangan ngomong.” Tangannya melingkarkan perban pada lutut kiri Ramona. Setelahnya, ia sengaja mengikat perban dengan sedikit kuat.

“Akh!” Ramona meringis kesakitan.

“Lebay,” kelakar Yanggi diikuti tawa kecil di ujung kalimat.

“Sakit tau!! Lo sengaja ya!”

Ia selesai mengobati luka Ramona. Obat-obatan yang tergeletak segera ia rapikan. Yanggi kembali duduk di samping Ramona, menanyakan apakah lukanya masih sakit atau tidak, yang ditanya menjawab tidak apa-apa.

“Oh! Gue mau nagih utang!” celetuk Ramona.

“Apaan? Kan lo yang kalah,” tolak Yanggi.

“Maksudnya ituu,” tunjuk Ramona ke arah mesin minuman yang ditempatkan di sebelah lampu taman.


“Lo gimana? Gapapa?” tanya Ramona seraya menarik cincin kaleng.

“Kenapa malah nanya gua?” balas Yanggi setelah meneguk sekaleng cola.

“Tadi, maaf gue kalah. Lo mau ngalahin Juno lewat gue 'kan?”

“Kata siapa? Itu buat diri lu sendiri.”

“Eh bodohnya elu malah kalah,” ucap Yanggi diselingi tawa getir, “jadi malu-maluin diri sendiri 'kan?”

“Maksudnya?”

“Gitu aja gak paham? Gue gak mau lu diremehin, semua orang harus tau kalo lu gak seremeh itu.”

“Kenapa lo peduli?”

“Biar ....” Yanggi gelagapan, bingung harus menjawab apa.

“Biar?”

“Biar Janu kemakan omongannya sendiri!” terang Yanggi sedikit berteriak. “Lu liat sendiri 'kan? Dia sok jago mulu?!”

“Gimana sih? Tadi katanya gak mau gue diremehin, sekarang bilang kalo mau balas dendam ke Juno,” ucap Ramona sambil menahan tawa.

“Nevermind.” Ia melayangkan atensinya ke arah anak yang tengah bermain ayunan. Entahlah, ingin melihat saja, anak kecil itu lebih baik daripada harus menatap gadis di sampingnya.

“Yang, makasih ya udah khawatirin gue.” Kali ini pembicaraannya cukup serius, Ramona benar-benar berterimakasih kepada Yanggi. “Sebelumnya gak ada yang pernah peduli sama gue.” Kepalanya menunduk, senyumnya memudar.

Sebenarnya Ramona hendak mengatakan kalau roda papannya rusak, bukan karena ia lengah. Ramona juga ingin berujar kalau ia tahu itu adalah ulah Juno, tapi ia tidak mau merusak suasana ini, ia tidak mau Yanggi menghabisi Juno sekarang juga.

“Lu gak gerah apa? Itu tangan lu pake kaos kaki mulu,” cibir Yanggi mengalihkan arah pembicaraan.

“Heh!! Ini tuh bukan kaos kakii! Ini namanya manset tangan tau!” gerutu Ramona dengan raut wajah yang berubah kesal. “Ini juga stocking! Jangan bilang kaos kaki panjang!”

“Yayayaaa terserah,” ledeknya dengan puas.

“Lu mau apa?” tanya Yanggi tiba-tiba. Ramona hanya mengangkat alis, tidak mengerti apa yang ia dimaksud.

“Ituuu, janji kalo menang.”

“Tapi gue kalah 'kan?”

“Mau gua berubah pikiran??”

“Hmmm ... cuma satu sih,” deham Ramona sembari mengangkat telunjuk tangan kanannya. “Tapi harus janji bakal diturutin!”

“Jangan aneh-aneh.”

“Enggakkk.”

“Janji!” Jari kelingking Ramona ditujukan kepada Yanggi, dengan maksud ingin menautkan kelingking masing-masing sebagai tanda telah berjanji.

“Apaan dah? kaya bocah!”

“Ayoo, pleasee!

Yanggi pasrah, bukan masalah besar kalau sekali-kali menuruti keinginan gadis aneh di sampingnya.

“Janji kalo lo ...,” ucap Ramona pelan, “harus terus bahagia tanpa penyesalan.” Sepasang netra miliknya menatap Yanggi dengan tulus.

“Maksud lu apa?” Yang ditatap, kebingungan. Tak mengerti apa yang gadis itu bicarakan.

“Maaf kalo gue kesannya ikut campur, tapi ... Tante Yuna pasti seneng kalo lo bisa relain dia.”

Yanggi heran mendengarnya, bagaimana bisa gadis itu tahu pasal ibunya?

“Lo tahu dari mana hah?!” gertak Yanggi diikuti kemarahan yang semakin memuncak.

“Dari tetangga ... gak sengaja denger dari Ibu-ibu,” jawabnya. “Kelihatannya lo juga sering murung ... ini juga alesan lo jadi perokok, ya?” tanya Ramona memastikan.

“Jangan ngelewatin batas. Lo gak tahu apa-apa.” Yanggi beranjak, ia mengambil papan yang disenderkan pada bangku. Sekali lagi, ia meninggalkan gadis itu sendirian.

“Maaf, gue gak maksud ... gue cuma mau bantu ....”