The biggest shame


Livia berusaha makan dengan normal—senormal makan ayam sendirian di atas kasur. Ia tidak mau berlagak seperti tuan putri—yang hanya makan butir demi butir dan entah kapan habisnya.

Sepotong ayam hangat di atas piring belum disentuh sama sekali. Daritadi, Arthur hanya memerhatikan Livia sambil tersenyum sesekali. Tapi tatapan itu terus mengusiknya. Tidak mungkin ia makan dengan lahap sambil diawasi sepasang netra yang tak berkedip menatapnya.

“Kenapa?” Jemarinya berhenti menyuap gumpalan nasi ke dalam mulut. Ia serius bertanya.

“Kenapa pake topi itu?” balas Arthur yang malah balik bertanya.

Livia tak langsung menjawab. Ia sibuk memikirkan sebuah alasan agar Arthur percaya.

Ia menundukkan kepala. “Gak bagus, ya? Gue kelihatan jelek, ya?” timpal Livia dengan nada suara yang dibuat sedih.

“Bukan gituu!” Arthur buru-buru menjawab, ia tak mau Livia salah paham.

“Kalo bukan, terus kenapa?”

'Cause I can't see your pretty face.

Hening. Ia membeku—kelihatannya. Padahal, ia terus bertanya dalam hati, “Gue gak salah denger, 'kan?”

“Lanjutin aja makannya,” ucap Arthur seolah melupakan kalimatnya barusan.

Kiranya ia salah dengar. Namun, Livia menyadari kalau suara Arthur bahkan lebih jelas dibanding tangisan bayi di meja paling depan.

Livia semakin menunduk—menenggelamkan separuh wajahnya menggunakan topi. Ia bersusah payah menyembunyikan rona di pipi yang telah berubah merah jambu. Tapi tetap saja percuma. Sekarang, dibalik senyuman Arthur, lelaki itu sedang menahan tawa karena melihat tingkah anehnya.

“Gue mau ... ke toilet dulu.”

Ia berniat merutuki Arthur sesampainya di kamar mandi.Tapi Livia bahkan belum tahu letak kamar mandi di restoran ini. Sudahlah, ia tak peduli. Derap langkahnya malah semakin cepat. Netranya hanya ingin menatap lantai kayu—enggan mendongak barang sekali.

“Livia! Awas!” teriak Arthur ketika melihat anak lelaki yang berlari ke arahnya.

Tubuhnya terdorong jatuh akibat anak lelaki yang berlarian di tempat umum. Livia mengaduh kesakitan. Bahu kirinya terbentur sudut meja kayu. Ia sedikit terhuyung saat mencoba berdiri tegak.

Arthur dengan sigap menghampirinya. Ia membantunya berdiri perlahan, “Ada yang sakit?”

“Nggak, gue gak apa-apa.” Livia mengangguk, bersikap seolah baik-baik saja.

“Eh?”

“Kenapa?”

Livia bingung. Ekspresi lelaki di hadapannya tampak terkejut, begitu juga anak kecil tadi yang masih berdiri di sebelahnya.

“Kakaknya culun banget kayak Dora!” seru anak lelaki dengan telunjuk yang mengarah untuknya.

Seluruh atensi tertuju padanya—lebih tepatnya, poni pendek itu. Livia buru-buru menutupi poninya dengan kedua tangan. Ia baru sadar kalau surai depannya terpampang jelas akibat topi yang terlempar saat terjatuh.

“Livia!” Arthur berseru ketika Livia tiba-tiba berlari meninggalkannya. Gadis itu bahkan melupakan topi yang tergeletak di atas mistar.

Ketika hendak pergi menyusul Livia, ia mendengar bisikan satu-dua pelanggan remaja yang menahan tawa. Ia tak bisa diam saja. Langkahnya berbalik menghampiri dua gadis di belakang.

“Gak ada yang lucu. Gak usah ketawa.” Keningnya berkerut, sorot matanya mengintimidasi—benar-benar berbeda dengan Arthur yang dikenal Livia.