Wanna join?

“Apaan dah?!”

Ponselnya direbut paksa oleh tangan mungil milik gadis bersurai pendek.

Yanggi sempat refleks membuka suara, tak terima dengan perlakuan aneh yang tiba-tiba.

“Kalo ada orang yang nemenin lo tuh diajak ngomongg, bukan asik sendiri sama handphone!

“Siapa suruh nemenin gua?”

“Nih!” Ramona melempar sekaleng soda yang tadi ia beli untuk anak lelaki di sampingnya.

Yanggi balas menangkap dengan cekatan. “Makasih,” ucapnya sembari membuka cincin penarik kaleng.

“Yeuu, bayar ya!” kelakar Ramona.

“Ogah.”

“Idih??”

“Kita kan temen.”

Deru mobil dan motor bertaut menjadi satu, tak luput juga bunyi bel sepeda milik khalayak yang berlalu lalang mengitari alun-alun. Selang lima menit, tidak ada percakapan. Sedari tadi Yanggi hendak bertanya, namun ia memilih diam.

Atmosfernya sedikit canggung. Dia pikir Ramona akan terus mengoceh seperti sebelumnya. Tapi entah mengapa, kala ia mengucapkan kata itu sekaligus menerima Ramona sebagai 'teman', gadis itu langsung bungkam.

“Lo beneran nganggep gue temen?” Ramona membuka suara, namun ada yang berbeda, nada suaranya tidak melengking lagi.

Yanggi juga berpikir demikian, gadis itu nampak sedikit murung—eh? sepertinya bukan, rautnya lebih menjelaskan kalau ... akhirnya aku punya seorang teman.

“Jangan lebay.” Yanggi merogoh sejumlah uang receh dalam saku celana, ia lantas memberikannya kepada Ramona, “Nih, gua bayar.”

“Makasih.” Tanpa pikir panjang, Ramona menerima pemberian Yanggi. Dikiranya, gadis itu akan menolak. Yanggi pikir tagihan tadi hanya gurauan belaka.

“Kenapa pindah sini?” tanya Yanggi, sengaja mengganti arah pembicaraan.

“Gak tahu, ikut ortu aja,” Ramona menjawab santai disusul dengan satu tegukan soda. “Mungkin ntar gue juga bakal pindah lagi.”

“Lu sering pindah?”

“Udahh ... berapa kali ya? Mungkin ini yang kesebelas?”

“Gila.”

“Iya kan? Gila emang.”

“Pantes aja.”

“Apa?”

“Lu gak punya temen.”

Yanggi mengalihkan pandangan, lupa kalau ucapannya itu sepertinya kalimat sensitif yang seharusnya tidak ia ucapkan. Pikirannya terselimuti rasa bersalah, Ramona mungkin akan terdiam lagi sampai—entah sampai kapan, tergantung gadis itu sendiri.

“HAHAHAHAH! Omongan lu emang suka nusuk gitu ya?” Gadis itu terkekeh, tidak menyangka ucapan Yanggi bisa se-tepat ini. “Tudep juga,” sambungnya.

Yanggi heran, sudah bersiap ingin mengganti topik, tapi gadis di sebelahnya malah tertawa tanpa tersinggung.

“Ya lu kalo gak suka pergi aja,” balas Yanggi sarkas. Ia memilih melupakan perasaan orang, lebih memilih menjadi sarkas seperti biasanya.

“Nggak kok.” Ramona menoleh, menatap netra lelaki di sampingnya. “Gue suka,” ucapnya sambil menyimpulkan seutas senyum.

Mendengar itu, tangannya refleks meraih sekaleng soda, ia lantas hendak meneguknya, tapi lupa kalau itu hanya sebuah kaleng kosong, soda itu sudah habis daritadi.

“Udah habis ituu, nih ada lagi,” tutur Ramona sembari menyodorkan sebuah kaleng soda dengan merk yang sama.

“Eh lu,” ucap Yanggi seraya menerima sodoran Ramona. “Mau gabung savalas?”

“Apaan tuh?”

“Anjir lu gatau??”

“Engga?”

“Padahal lu udah rame di base.”

“Apa dah?”

“Tau tempat yang buat tanding kemaren? Itu savalas.”

“Ohhh, gue kira buat umum, berarti kemaren gue salah dong?”

“Emang.”

“Itu apa? Ekskul?”

“Bukan ekskul, tapi dibuat sama beberapa murid sekolah kita,” papar Yanggi. “Anak-anak dari sekolah kita ya, bukan pihak sekolah,” jelasnya sekali lagi.

“Artinya temen-temen gua yang bikin club itu.”

“Wahhhh, kerennn!” Ramona membuka mulutnya lebar, kagum dengan apa yang dijelaskan Yanggi.

“Semua yang kelola savalas dikenal satu sekolah, bahkan sampe sekolah lain juga.”

“Lo juga termasuk yang kelola?”

“Gua? HAHAHAH.”

“Mana ada gua mau ngurusin begituan? Ribet, mending jadi konsumen aja.”

“Tapi kayaknya lo dikenal satu sekolah?”

“Emangnya selain anak savalas gak bisa dikenal satu sekolah?”

“Nggak juga sih ....”

“Tapi gua jadi peran penting di savalas, MVP katanya, hahahah.”

“Gua juga ngerasa savalas itu rumah.” Kepalanya menunduk, terdengar deru napas kasar di akhir kalimat.

“Lu sendiri gimana?” sambung Yanggi sambil mendongakkan dagunya.

“Eh? Apa?”

“Mau gabung?”

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Disana pasti rame, 'kan?”

“Iyalah, jelas.”

“Gak mau, males ngobrol sama banyak orang.”

“HAHAHAHAH!”

“Boong banget luu,” cibir Yanggi tak terima. “Buktinya sama gua, lu nyrocos aja padahal baru sekali ketemu.”

“Beda tauu!”

“Apa yang beda?”

“Gue cerewet tuh kalo sama orang yang udah nyaman aja.”

“Maksudnya?”

“Lo bisa bikin gue nyaman sama lo.”

Gugurnya daun kering disusul goyangan pohon beringin yang tertiup angin, membuat suasana semakin canggung. Ramona selalu spontan dalam berbicara, tidak berpikir panjang untuk mengungkapkan perasaan, juga tidak pernah berpikir bagaimana perasaan orang yang mendengarnya.

“Cewek gak jelas.” Yanggi buru-buru menaiki skateboard miliknya, meninggalkan Ramona sendirian.

“EHH?? SALTING YAA??”

“EH PADAHAL GUE GAK MAKSUD LOH?”

“MAKSUDNYA TUH NYAMAN BISA JADI TEMENN!!”

“HEHH MAU KEMANAA??”