when he smiles, her cheeks turn red


Semilir angin yang berembus meniup surai legamnya hingga tergiring tarian angin. Ia beberapa kali merapikan rambutnya yang kian kemari. Arthur sudah menawarkan agar keduanya beralih ke tempat yang lebih hangat, tapi ia menolak—katanya, rasi bintang jauh lebih indah dilihat dari atas sini.

Arthur memerhatikannya lamat-lamat, kemudian melontarkan sebuah tanya, “Dingin?”

“Engga—”

Sebelum Livia menyelesaikan kalimat, gerakan gesitnya melepas jaket, menyandarkannya pelan melingkupi bahu Livia. “Gue bilang juga apa, harusnya kita pindah tempat,” ucapnya sambil menautkan kancing jaket yang Livia kenakan.

“Tadi kan gue udah bilang gak mau.”

“Iya, iyaa. Gue juga lebih suka lihat bintang dari atas sini.” Arthur mengalah, mengikuti alur kemauan Livia.

Tidak ada obrolan lagi. Hanya angin yang berbicara. Ia enggan mencari topik. Arthur juga sepertinya sama.

Tangannya kembali mengepal. Menatap asap putih yang menguap dari secangkir kopi panas. Sebenarnya sejak tadi, ia selalu menghindari tatapan lelaki dengan kemeja biru. Dengan paras rupawan dan senyuman yang hanya tertuju untuk dirinya, Livia bahkan tak berani meliriknya.

“Keira bukan pacar gue, Liv. Satu-satunya orang yang gue suka itu cuma lo.”

Matanya spontan mendelik saat mendengar pernyataan tersebut. Bagaimana tidak? Belum sempat ia menyeruput latte panas, pemuda ini sudah mulai menyatakan perasaan.

I've liked you since we were in middle school.” Arthur mengambil napas dalam, netranya menatap Livia penuh harap. “Would you requite the sentiment I've been bearing all these times?

Livia termangu. Sekujur tubuhnya kaku. Ia bingung harus bereaksi seperti apa.

Namun, afeksi yang ia dapatkan malah membuatnya pilu. Lekumnya tercekat. Netranya membendung tangis. Mungkin memang berlebihan, atau sangat. Tapi emosi yang selama ini ia pendam meluap begitu saja. Seseorang yang susah payah ia lupakan, malah membalas perasaan di saat ia mulai merelakan.

“Eh? Kok malah nangis?” Arthur terlihat panik—takut kalau ia salah bicara.

Livia masih terisak, berusaha menenangkan dirinya. “Gue ... gue udah suka sama lo dari jaman baju sailormoon, tahu gak? Waktu lo masih pake dasi kupu-kupu polkadot sama rambut lo klimis banget, persis Kak Seto.”

Arthur tertawa lepas, netranya selalu bersembunyi saat tertawa. “Beneran? Dari jaman TK? Ternyata lo lebih menderita daripada gue, ya?”

“Kenapa lo lucu banget sih?” ucap Arthur seraya mengangkat tangan kanannya perlahan.

Ia tampak terkejut ketika tangan kanan Arthur membelai lembut surainya yang berantakan. Livia meliriknya sekilas, senyum khas lelaki itu belum pudar.

Livia sedikit menoleh agar tangan Arthur beringsut turun. Bola matanya kembali beralih—belum berani saling tatap. “Berarti ... kita ....” Kalimatnya menggantung. Ia takut kalau persepsinya salah. Sengaja menunggu Arthur yang melanjutkan.

“Apa lagi? Bukannya udah jelas? Oh ... Iya, ya? harus diomongin secara langsung ....”

“GAK USAH!”

Mendadak senyap. Teriakan Livia menciptakan suasana canggung. “Maaf,” ucapnya terbata. Untungnya tidak ada satupun pengunjung selain mereka. Kalau iya, mungkin Livia akan berlari lagi meninggalkan Arthur.

Hening baru pecah saat Arthur melepas tawa. “Ngapain minta maaf, Liviaaa.”

“Olivi—”

“IYAA MAU!” Livia menyela dengan cepat. Arthur benar-benar keras kepala. Gadis itu tak suka mengulang pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

Arthur terkekeh pelan, “Kenapa kita jadi canggung gini, ya? Padahal dulu enggak gini, 'kan?”

Kepalanya mendongak—menatap ribuan bintang yang tak bosan berkedip—sedang memberi jeda untuk ucapan selanjutnya.

Untuk kesekian kalinya, Arthur tersenyum. “Makasih, ya, Pia.”


“Kenapa bilang makasih?” Alis gadis kecil itu mengkerut. Anak lelaki yang sedang duduk di salah satu bangku membuatnya bingung.

“Makasih banyaaak, udah mau nemenin aku!” Ia menyengir—menampakkan deretan gigi putihnya.

“Iya, Arthuur. Eh kalo mau nangis lagi juga gak apa-apa!” Tangan kanannya memberi uluran—memapah anak laki-laki yang ia panggil Arthur.

“Tapi laki-laki kan gak boleh nangis,” ucap Arthur seraya berdiri—menerima uluran tangannya.

“Kenapa? Itu kan wajar,” ujarnya sambil menepuk-nepuk baju Arthur yang kotor.

“Wajar itu apa?” Arthur kecil balas tanya kebingungan.

“Tanya aja sama bapakmu!” Bola matanya memutar malas. Gadis kecil itu enggan menjawab—lebih tepatnya ia tahu, tapi tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya.

Arthur tidak terlalu memedulikan omongan temannya yang tak acuh. Ia masih terpikir tentang seseorang. “Pia ... aku mau minta tolong lagi ....” Arthur merengek kecil pada Livia—atau yang sering ia sebut 'Pia'

“Minta tolong apa?”

“Boleh?”

“Boleh!”

“Beneran?”

“Iyaaaaa!”

“Nggak ngerepotin kamu, 'kan?”

“ENGGAKK! CEPETAAN!”

Ia tertawa kecil mendengar teriakan Livia. Arthur suka sekali menjahili temannya—terutama Livia. Tanpa bertanya lagi, Arthur menjawab, “Boleh bantu aku cari kado buat Mama?”

“Gak jadi beli kue lagi?” tanya Livia heran.

“Gak mau ... nanti jatoh lagi.” Raut wajahnya berubah masam. Ia masih kesal. Tadi—selepas membeli kue, Arthur berlari girang sambil membawa sebuah kotak berisi tart strawberry. Tapi kemudian, kue tar yang dibawa menjadi tak berbentuk karena ulahnya—kakinya tiba-tiba tersandung bebatuan tanpa sepenglihatan.

“Yaudah, ayo!” Livia membuyarkan penyesalan. Tangannya langsung menarik lengan mungil Arthur.

“Pia ....” Langkah kaki mereka terhenti. Arthur melepas genggaman Livia.

Livia menoleh. “Apa?”

“Boleh minjem uang kamu dulu, nggak? Uangnya abis buat beli kue ...,” ucapnya malu-malu. Ini pertama kalinya Arthur meminjam sesuatu dari teman sebaya.

Livia berdecak. Gadis kecil itu menghela napas panjang. “Iya baweel.”

“Jangan tanya bawel itu apa.” Baru saja hendak membuka mulut, ucapan Livia langsung membungkam mulutnya.

“Kamu pinter banget, ya! Tahu banyak kata!” celetuk Arthur dengan senyum yang mengembang.

Livia lanjut melangkah—menyembunyikan telinganya yang berubah kemerahan. “Iya dong! Pia gitu lohh!” ucapnya sambil membusungkan dada.

“Pia!” Teriak Arthur yang tertinggal di belakang. Langkahnya dipercepat agar bisa menyusul Livia. “Nanti kalo udah gede, aku ganti!” seru Arthur dengan napas berderu.

“Gak usah.”

“Kenapa gitu?”

“Gantinya besok aja, kalo nunggu kamu gede kelamaan!”

Keduanya saling melempar tawa. Tawa renyah mereka membuat siapapun yang lewat ikut tersenyum melihatnya.

“Ayoo!! Nanti keburu gelap!” ajak Livia tak sabaran.

Arthur mengangguk. Kaki kecil mereka melanjutkan langkah. Ia menggenggam lebih dulu tangan Livia.

Senyumnya merekah bersamaan dengan sinar mentari yang menerpa wajahnya. Gadis kecil itu sedikit ternganga. Entahlah, perasaan ini sangat asing baginya. Detak jantungnya tiba-tiba berpacu lebih cepat.

“Aneh,” batinnya. Livia selalu biasa saja ketika melihat Arthur yang hobi tersenyum. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Mungkin karena diterpa cahaya surya? Karena itu anak lelaki ini terlihat 'berbeda?'

Pikiran gadis kecil itu dipenuhi tanya. Ia belum paham tentang semua ini, tapi kupu-kupu yang berterbangan di perutnya telah bangun lebih awal.

“Kamu demam?” Arthur menaruh telapak tangannya di dahi Livia, memastikan kalau temannya baik-baik saja.

“Enggak, tuh?”

“Wajah kamu merah!”

“Eh?” Livia refleks memegang kedua pipinya. Ia bingung kenapa bukan dahi yang terasa panas, melainkan pipinya.

Itu awal mula tabiat Livia. Pipi bulatnya akan selalu merona jika bertemu anak lelaki itu—anak lelaki pemilik senyum bulan sabit.