amarylie

amateur writer

Cuaca hari ini cerah—bahkan sangat cerah sampai aku tidak bisa menemukan satupun awan yang terpajang di langit biru. Banyak orang yang berlalu lalang berteduh di bawah payung yang mereka bawa. Saat ini matahari sedang berada di puncaknya, ditambah pemanasan global yang terlanjur menggerogoti bumi.

Kipas angin ditempatkan di tengah dinding toko—sehingga semua orang kebagian tempat untuk mendinginkan badan. Tapi percuma, aku tetap merasa gerah. Aku selalu merutuki toko kecil ini, membatin kenapa Bu Sarmi—pemilik toko—tidak memasang kipas angin di tempat kasir, Bisakah sekali saja ia memikirkan pegawainya?

Rambut panjangku sudah dikuncir, bahkan aku sudah bersiap membawa kipas tangan dari rumah. Namun, cuaca enggan mengalah. Kesal sekali, ingin rasanya bergegas pulang, lalu merebahkan diri di atas sofa dan meneguk sekaleng soda yang disimpan di kulkas.

Banyak pembeli hari ini, tapi suasana hatiku benar-benar buruk. Aku melayani dengan malas—hanya berfokus pada barang belanjaan, malas sekali bahkan untuk sekedar melempar senyum pada pembeli.

“Cuaca hari ini panas banget ya mbak,” ujar salah satu pembeli sambil mendekati meja kasir.

Pembeli sok akrab lagi, pasti begitu. Entahlah, aku malas melihat wajahnya.

Tanpa menatap wajahnya, aku membalas, “Ya.”

Setelah basa-basi, pembeli itu meletakkan keranjang belanjaannya ke atas meja kasir. Aku mulai mengeluarkan satu-persatu barang dari keranjang, lalu memindai barang belanjaan dengan alat scan.

“Mbaknya kok tambah umur tambah cantik?”

“Pake dukun, mas.” Aku menjawab ketus—masih fokus memindai barang.

Bisakah dia diam saja dan menunggu? Ini tak sekali dua kali, banyak pembeli yang sering menggodaku. Anehnya, dari mana ia tahu semakin bertambahnya umur aku semakin cantik? Memangnya dia pernah melihatku sewaktu sekolah dasar? Dasar, gombalan aneh. Namun aku harus profesional, berusaha menahan amarah, setidaknya aku bisa membalas tanpa menyumpah serapahi pembeli itu.

“Cantik-cantik tapi kok gelang jelek gitu masih dipake?”

Mendengar itu aku terkejut, siapa yang berani bilang pemberian gelang dari Zain itu jelek??

Aku mendongak, pembeli itu sengaja sekali ingin membuatku berujar kasar di depan wajahnya. “Jangan sembarangan ya mas! Ini pemberian orang yang saya suk—”

Aku bungkam, mulutku tiba-tiba terkunci. Keningku berkerut, netraku menyelidik dari ujung kaki sampai ujung kepala pemuda itu. Maksudku, aku ... tidak salah lihat 'kan?

“Zain?”

“Maaf ya, udah nunggu lama.” Zain tersenyum, matanya refleks menyipit. Senyum yang sama dan garis wajah yang sama seperti lima tahun silam. Yang membedakan, sekarang tinggi badannya setinggi pintu toko, suaranya juga lebih berat sampai aku tidak bisa mengenalinya.

Dan yang masih tetap sama ... aku memang masih menunggu. Bahkan setelah lima tahun lamanya, aku masih menunggu.

Tapi aku tidak tahu dengan Zain, apakah dia sama gelisahnya sepertiku, atau datang untuk sekedar menyapa dan memperkenalkan seorang baru dalam hidupmu.

“Ka Apennn!!!! AAAA!!”

Gadis kecil itu terjatuh, sepatunya tersangkut diantara rumput ilalang. Namun sedetik kemudian bangkit lagi dengan tawa lebar diwajahnya.

“Lia! Dibilangin jangan lari-lari!” ucap anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah duduk diatas hamparan rumput luas belakang rumahnya.

“Ka Apen kok masi disini? Bental lagi mau malem! Nanti dicaliin ayah!”

“Gapapa, ayah ga bakal nyariin juga,” ucap Kaveen dengan suara lirih.

“Benelan?? Kalo gitu Lia disini dulu ya ama ka Apen.” Kalia berlari kecil mendekati Kaveen, Lia tak peduli harus duduk beralaskan rumput padahal itu akan mengotori rok putihnya.

Sedari tadi Kaveen hanya menatap kosong ke arah semburat jingga kemerah-merahan di langit. Kalia yang melihat tatapan kosong Kaveen itu langsung paham apa yang sedang dirasakan kakaknya saat ini.

“Ka Apen kangen buna ya?”

“Iya,” jawab Kaveen singkat. Iya, hanya kata singkat itu yang bisa Kaveen jawab, dunianya seakan-akan telah hancur, pasalnya baru kemarin bunda yang selama ini selalu menemani dan menyayanginya telah pergi dan tak akan kembali lagi.

“Ka Apen bohong kan soal buna yang liburan ke Ciamis? Buna itu sebenelnya uda meninggal kan?”

“Lia...” Kaveen tak pernah tahu bahwa adik kecilnya itu sudah bisa memahami situasi seperti ini diumurnya yang kelima tahun.

“Kata buna, telkadang hal telbaik yang bisa kamu lakukan untuk seseolang yang kamu cintai adalah melepaskannya. Doakan untuknya dan bebaskan ia. Bebaskan dilimu juga.” Ia tersenyum hangat ke arah kakaknya. Kalia mengambil tangan Kaveen dan menautkan tangan Kaveen diatas tangan kirinya, ia seolah-olah memberi semangat lewat genggaman tangannya.

Ucapan Kalia tadi nyaris persis seperti tuturan ibundanya, bedanya hanya pengucapan Kalia saja yang kesulitan melafalkan huruf r.

Kaveen terhenyak, ia tidak menyangka ucapan itu akan keluar dari bibir adik kecilnya. Kaveen malu pada dirinya sendiri, seharusnya ialah yang menghibur adiknya dikala ibunya pergi, tapi malah adiknya yang menghibur dirinya ketika kehilangan sosok Sang Ibu.

“Makasih ya Lia, kamu udah mau jadi adeknya Kak Kaveen,”

“Makasi jugaa uda mau jadi kakanya Lia! Ka Apen itu kaka telbaik sedunia!”

“Kenapa gitu?”

“Kalena Ka Apen itu selalu senyum walaupun lagi sedih! tuh! Tuh kan balu dibilangin langsung senyum!”

Kaveen refleks tersenyum mendengar celotehan Lia, bagaimana tidak? Menurutnya, celotehan cadel adiknya ini sangatlah lucu.

“Tapi Ka Apen ga boleh pendem sendilian ya! Kan ada Lia! Kalo mau nangis, nangis aja walaupun Ka Apen kalo nangis itu jelek,” ucap Lia sambil cengar-cengir.

Kaveen memang tidak pernah menunjukkan kesedihannya pada siapapun, bahkan pada dirinya sendiri. Kaveen benar-benar memegang teguh perkataan ayahnya bahwa laki-laki itu tidak boleh menangis. Ia tidak akan menangis walaupun tidak ada orang yang melihat. Terakhir kali adalah sewaktu ayahnya memarahi Kaveen habis-habisan karena mendapat nilai 79.

“Ka Apen bawa gital ya??” tanya Lia yang mengubah topik pembicaraan.

“Iya, mau pinjem?”

“Gimana siii, gital kan guede banget, aku gabisa! Tapi kalo ukulele bisa!”

“Kamu beneran bisa main ukulele?”

“Bisa megangnya doang,”

“Helehh,” ucap Kaveen seraya mengacak-acak rambut Kalia.

“Yaudah kalo gitu ukulele Kak Kaveen buat Lia aja ya?”

“Seliusaann????”

“Iyaa,” ucap Kaveen sambil mengangguk.

“YEYYY!!!” Kalia sangat senang, ia sampai melompat kegirangan. Sebenarnya ukulele itu sudah lama ia incar, dan Kalia juga sudah menunggu Kaveen memberikan ukelele favorit kakaknya itu kepadanya.

“Lia tau lagu kesukaannya bunda?”

“Tau! Smile 'kan?” Kalia langsung duduk antusias mendengar ucapan Kaveen. Biasanya jika Kaveen bertanya tentang lagu, itu tandanya sebentar lagi Kaveen akan bernyanyi dengan diiringi petikan gitar.

“Hahaha bahkan kamu juga tau judul lagunya,”

“Iya dong! Buna selalu nyanyiin itu sebelum Lia tidul!”

“Mau kakak nyanyiin juga ngga?”

“Mauu!”

Kaveen mengambil gitar yang tergeletak disampingnya. Ia mulai menaruh jari-jari tangan kirinya diatas frets, dan jari-jari tangan kanannya mulai memetik dawai gitar.

“Smile, though your heart is aching Smile, even though it’s breaking When there are clouds in the sky you’ll get by If you smile through your fear and sorrow Smile and maybe tomorrow You’ll see the sun come shining through for you”


“Light up your face with gladness Hide every trace of sadness Although a tear may be ever so near That’s the time you must keep on trying Smile what’s the use of crying You’ll find that life is still worthwhile If you’ll just Smile”

Kalia meletakkan ukulele milik Kaveen dengan sangat hati-hati. Kemudian ia mengalihkan pandangan ke arah jendela disampingnya.

Daritadi senja menemani dirinya bernyanyi dan bermain ukulele sambil mengenang beberapa serpihan memori yang masih membekas. Ia memutar kembali memori itu, memori ketika Kaveen memainkan gitar akustik sambil menyanyikan lagu kesukaan ibunya.

Kalia sudah janji pada dirinya sendiri, ia tidak akan menangisi kepergian kakaknya lagi. Ucapannya 12 tahun yang lalu ternyata ditujukan untuk dirinya sendiri, terkadang hal terbaik yang bisa kamu lakukan untuk seseorang yang kamu cintai adalah melepaskannya. Doakan untuknya dan bebaskan ia. Bebaskan dirimu juga.

Kalia berjanji akan meneruskan cita-cita Kaveen yang tertinggal. Ia berjanji akan menjadi bebas seperti kata Kaveen.

Sekarang Kalia hanya akan mengukir senyuman terindah seperti senyuman seseorang yang telah menjadi kakak sekaligus satu-satunya pahlawan di hidupnya.

cheer up and that there's always a bright tomorrow, just as long as you smile.