amarylie

amateur writer


Semilir angin juga mentari yang tertutup awan membuat jalanan yang sebelumnya terfatamorgana berubah menjadi sedia kala. Angin sejuk menggugah dirinya turun ke lapangan untuk menikmati embusan pawana. Tentunya juga ditemani papan favorit miliknya. Dua pasang roda yang terus berputar membawanya menuju taman kota. Kala pandangan sengaja dipusatkan pada mesin minuman di sebelah lampu temaram, kakinya dihentakkan ke atas tanah, berhenti sebentar untuk membeli soda kesukaan.

Sekitar lima belas kaki dari tempatnya berpijak, didapati gadis dengan rambut sebahu tengah melamun—menatap jalanan yang kosong. Dari punggungnya saja ia langsung mengenali siapa gadis yang tengah duduk di seberang.

Ia memasukkan lagi selembar kertas berwarna ungu ke dalam lubang mesin. Sekaleng minuman keluar dari bagian bawah mesin penjual otomatis. Sekarang ia menggenggam dua buah kaleng soda. Lelaki itu melangkah mendekati gadis yang terduduk di bangku taman. Saat langkahnya sampai di belakang gadis itu, ia berniat menaruh kaleng dingin pada pipi kanan sang gadis, tapi sebelum sisi kaleng itu menempel pada pipi, tiba-tiba tangannya dicengkram sekuat tenaga. Membuat kejutannya gagal, yang didapat hanya ia yang meringis kesakitan.

“LEPASIN! SAKIT NJIR!” Yanggi buru-buru menepis tangan gadis yang mencengkram tangan kanannya.

“Eh?” Ramona menoleh, ia baru sadar orang itu adalah Yanggi. “Eh maaf, gue kira orang aneh.”

“Orang aneh?” tanya Yanggi sembari memilih duduk di sebelah Ramona. Sementara tangannya memberikan sekaleng soda pada gadis itu.

“Di berita lagi rame penculikan 'kan?” Ramona menerima pemberian Yanggi.

“Hahahah, siapa yang mau culik cewe freak kayak lu.”

“HAHAHAH!” Gadis itu tertawa lepas, seakan rasa lelahnya telah hilang dalam sekejap.

“Kenceng banget ketawa lu.” Jauh dalam lubuknya, sebenarnya ia senang bisa mendengar tawa itu lagi.

“Gue kangen bangett dibilang freak sama lo.”

Gadis itu mulai lagi, tidak bisakah ia berhenti mengucapkan kata yang biasanya diucapkan sepasang ... kekasih?

Entahlah, Yanggi hanya menggaris bawahi ucapan kangen, seakan-akan gadis itu benar-benar menunggunya.

“Lu ... beneran jauhin gua?” ucapnya mengganti arah percakapan.

“Tapi sekarang lagi deketan tuh?”

“Serius dulu napa?”

“Hahahah, iyaaa ... Itu mau lo, 'kan?”

“Ram,” panggilnya dengan nada baritone. “Gua minta maaf.” Sepasang manik itu sekarang ditujukan ke arah gadis di sebelahnya.

“Kok malah lo yang minta maaf?”

“Gua udah keterlaluan ...?”

“Iya emang,” balas Ramona membenarkan. “Masa ya, gue gak boleh chat sama temen gue satu-satunya?”

“Hampa tau gaak si?” tambah Ramona.

“Gua juga ... sepi gak ada lu.”

“Yang,” panggil Ramona. “Gue minta maaf karena terlalu ikut campur urusan orang, sok ngasih solusi.” Gadis itu menunduk, menghela napas kasar. “Gue cuma ... gak mau lo jadi kayak gue.”

“Maksud lu?”

Ramona mendongak, menatap Yanggi di sampingnya. “Gue juga sama, Mamah juga meninggal.”

Ucapan Ramona barusan berhasil memusatkan penuh atensi Yanggi padanya. Pemuda itu terdiam, mulai mendengarkan dengan seksama.

“Gue pernah ... hampir nyerah karena Mamah bunuh diri.” Semampu mungkin gadis itu menahan sekumpulan air yang siap jatuh membasahi pipi.

“Sekarang gue cuma ikut Papah sama selingkuhannya itu. Gak ada kasih sayang sejak Bunda meninggal.”

“Ayah juga udah kehipnotis sama istri barunya ... padahal waktu masih ada Mamah, dia sayang banget sama gue.”

“Kadang ... gue iri sama lo, hahahah.” Ramona tertawa getir. “Bisa tinggal di rumah sendirian, tanpa harus dibentak atau jadi bahan pelampiasan di rumah.”

Ia menatap gadis itu penuh belas kasih. Yanggi tidak pernah menyangka kalau gadis pemilik senyum paling cerah itu juga punya banyak penderitaan.

“Iya, gua tinggal sendiri. Ayah tiap bulan cuma transfer uang, tapi gak pernah jenguk gua sekalipun.”

Kini giliran ia yang bercerita. Kalau kalian ingin tahu, Yanggi tidak pernah dan tidak akan pernah menceritakan kisahnya kepada siapapun. Tapi untuk pertama kalinya, ia berani membuka suara demi gadis itu.

“Oh, tapi nggak juga. Kadang dia lupa transfer sampe setahun? Jadi ya gue suka ikut skateboard competition gitu di festival kota, hadiahnya kadang ada yang lumayan sih.”

“Jujur, gua gak mau gunain uang dari orang yang gak tanggung jawab.”

“Tapi mau gimana lagi ... balik ke kenyataan aja.”

“Lu mau makan apa kalo gak pake uang? Belum juga ada tagihan listrik.”

“Gua juga pernah kerja sambilan di toko, tapi berantakan juga akhirnya.”

“Tinggal sendirian gak semudah itu, Ram.”

“Iya ....” Ramona menjawab lirih. Seharusnya ia bersyukur bisa makan dan minum secara gratis. Tapi tetap saja ... Ayahnya juga tak acuh pada Ramona. Ibu tirinya berhasil merenggut kasih sayangnya.

“Gua gak tahu ya ... sebenernya dia masih sayang sama anak pertamanya ini atau enggak,” ungkap Yanggi. Ramona refleks menoleh, kalimat yang Yanggi ucapkan sama persis seperti yang ada dalam benaknya.

“Ayah nikah lagi, tinggalnya juga sama keluarga yang baru. Gua bahkan gak tahu dia tinggal dimana.” Yanggi melanjutkan kalimatnya. “Udah jadi tahun ketiga, gua sendirian di rumah itu. Eh? Maksudnya bareng Louis juga.”

“Ram.” Netranya kembali beralih ke arah Ramona. Cukup sampai sini ia bercerita.

“Lu gak bakal pindah lagi, 'kan?” sambungnya penuh harap.

“Gak tahu juga.”

Ramona memang belum tahu. Dua Minggu tinggal di kota ini, hanya bisa berharap agar hari esok tidak akan ada truk pengangkut barang di depan rumahnya.

“Cuma lu yang ngerti gua, kata-kata lu waktu itu bener juga. Gak ada yang salah dari kata-kata lu. Gua cuma kesel aja ada yang ungkit tentang bunda.”

“Jadii, gak jadi musuhan nih?”

“Jangan, gua gak mau lagi kehilangan orang yang gua sayang.”

Entah kenapa jantungnya berdegup kencang, kedua pipinya merona. Gadis itu terhenyak hanya dengan satu kalimat.

“Dangdut banget, HAHAHAHH!” Ia tak boleh nampak seperti kepiting rebus, Ramona berusaha sebaik mungkin tidak terlihat canggung.

“Eh? Lu salting?” Percuma saja, lelaki itu menyadari setiap gerak-gerik Ramona.

“Hah engga?”

“Itu merah banget pipinya, hahahah!” Yanggi terkekeh. Baginya sangat lucu melihat gadis itu salah tingkah.

“ENGGAA!!”

“HAHAHAH! Akhirnya bisa juga bikin lu salting.”

“Udah ya, gua mau pulang! Dicariin Katty!” Ramona buru-buru meraih papan miliknya, bergegas meninggalkan Yanggi. Rasanya ingin menyatu dengan alam sekarang juga.

“Ram!” Teriak Yanggi pada Ramona yang sudah meluncur jauh di depan.

Ramona memblokir skateboard-nya dengan sekali hentakan, menghasilkan bunyi berdecit pelan.

“Besok jam empat! Gua tunggu di sini!”

Tak kuasa melihat respon gadis yang telah berubah menjadi kepiting rebus, Yanggi membalikkan badan, ikut pergi meninggalkan taman dengan berjuta kupu-kupu yang menggelitik perutnya.


Skateboard lu gimana?” tanya Yanggi kepada gadis yang tengah duduk di sampingnya.

“Gampang beli lagi,” jawab Ramona santai.

“Hahahah, holkay ya lu?” cetus Yanggi sambil menoleh ke arah Ramona.

“Nabung lah, lagian beli yang biasa aja juga bisa,” ucap Ramona sembari balas menatap Yanggi.

“Eh?” Ramona tersentak. Ia kaget dengan Yanggi yang tiba-tiba mengeluarkan obat-obatan dari plastik hitam—yang tadi ia beli di apotek.

Yanggi lantas berlutut di depan Ramona, mulai meneteskan cairan alkohol pada lutut yang terluka.

“Biar gue sendiri,” pinta Ramona.

“Udah lu diem aja.”

“Lo bisa?”

“Lupa? Gua skater, tiap hari jatoh, pastinya jago kalo cuma luka segini.”

Setelah dibersihkan menggunakan alkohol, Yanggi meneteskan beberapa lugol. Terakhir, ia memakaikan perban dengan telaten, berhati-hati agar Ramona tidak merasa sakit.

“Tapi, lo ... pinter ngobatin luka, for a boy.” Ramona menatap netra lelaki di depannya. Tanpa sadar dirinya mengulas seutas senyum.

“Lo juga pinter skate, for a girl.” Yanggi membalas tersenyum, membuat Ramona salah tingkah karena reaksinya yang tiba-tiba.

Okay okayy, you win.” Ramona mengalihkan pandangan. “Gue kalah mulu ngomong sama lo,” ucapnya sambil mengerucutkan bibir.

“Makanya jangan ngomong.” Tangannya melingkarkan perban pada lutut kiri Ramona. Setelahnya, ia sengaja mengikat perban dengan sedikit kuat.

“Akh!” Ramona meringis kesakitan.

“Lebay,” kelakar Yanggi diikuti tawa kecil di ujung kalimat.

“Sakit tau!! Lo sengaja ya!”

Ia selesai mengobati luka Ramona. Obat-obatan yang tergeletak segera ia rapikan. Yanggi kembali duduk di samping Ramona, menanyakan apakah lukanya masih sakit atau tidak, yang ditanya menjawab tidak apa-apa.

“Oh! Gue mau nagih utang!” celetuk Ramona.

“Apaan? Kan lo yang kalah,” tolak Yanggi.

“Maksudnya ituu,” tunjuk Ramona ke arah mesin minuman yang ditempatkan di sebelah lampu taman.


“Lo gimana? Gapapa?” tanya Ramona seraya menarik cincin kaleng.

“Kenapa malah nanya gua?” balas Yanggi setelah meneguk sekaleng cola.

“Tadi, maaf gue kalah. Lo mau ngalahin Juno lewat gue 'kan?”

“Kata siapa? Itu buat diri lu sendiri.”

“Eh bodohnya elu malah kalah,” ucap Yanggi diselingi tawa getir, “jadi malu-maluin diri sendiri 'kan?”

“Maksudnya?”

“Gitu aja gak paham? Gue gak mau lu diremehin, semua orang harus tau kalo lu gak seremeh itu.”

“Kenapa lo peduli?”

“Biar ....” Yanggi gelagapan, bingung harus menjawab apa.

“Biar?”

“Biar Janu kemakan omongannya sendiri!” terang Yanggi sedikit berteriak. “Lu liat sendiri 'kan? Dia sok jago mulu?!”

“Gimana sih? Tadi katanya gak mau gue diremehin, sekarang bilang kalo mau balas dendam ke Juno,” ucap Ramona sambil menahan tawa.

“Nevermind.” Ia melayangkan atensinya ke arah anak yang tengah bermain ayunan. Entahlah, ingin melihat saja, anak kecil itu lebih baik daripada harus menatap gadis di sampingnya.

“Yang, makasih ya udah khawatirin gue.” Kali ini pembicaraannya cukup serius, Ramona benar-benar berterimakasih kepada Yanggi. “Sebelumnya gak ada yang pernah peduli sama gue.” Kepalanya menunduk, senyumnya memudar.

Sebenarnya Ramona hendak mengatakan kalau roda papannya rusak, bukan karena ia lengah. Ramona juga ingin berujar kalau ia tahu itu adalah ulah Juno, tapi ia tidak mau merusak suasana ini, ia tidak mau Yanggi menghabisi Juno sekarang juga.

“Lu gak gerah apa? Itu tangan lu pake kaos kaki mulu,” cibir Yanggi mengalihkan arah pembicaraan.

“Heh!! Ini tuh bukan kaos kakii! Ini namanya manset tangan tau!” gerutu Ramona dengan raut wajah yang berubah kesal. “Ini juga stocking! Jangan bilang kaos kaki panjang!”

“Yayayaaa terserah,” ledeknya dengan puas.

“Lu mau apa?” tanya Yanggi tiba-tiba. Ramona hanya mengangkat alis, tidak mengerti apa yang ia dimaksud.

“Ituuu, janji kalo menang.”

“Tapi gue kalah 'kan?”

“Mau gua berubah pikiran??”

“Hmmm ... cuma satu sih,” deham Ramona sembari mengangkat telunjuk tangan kanannya. “Tapi harus janji bakal diturutin!”

“Jangan aneh-aneh.”

“Enggakkk.”

“Janji!” Jari kelingking Ramona ditujukan kepada Yanggi, dengan maksud ingin menautkan kelingking masing-masing sebagai tanda telah berjanji.

“Apaan dah? kaya bocah!”

“Ayoo, pleasee!

Yanggi pasrah, bukan masalah besar kalau sekali-kali menuruti keinginan gadis aneh di sampingnya.

“Janji kalo lo ...,” ucap Ramona pelan, “harus terus bahagia tanpa penyesalan.” Sepasang netra miliknya menatap Yanggi dengan tulus.

“Maksud lu apa?” Yang ditatap, kebingungan. Tak mengerti apa yang gadis itu bicarakan.

“Maaf kalo gue kesannya ikut campur, tapi ... Tante Yuna pasti seneng kalo lo bisa relain dia.”

Yanggi heran mendengarnya, bagaimana bisa gadis itu tahu pasal ibunya?

“Lo tahu dari mana hah?!” gertak Yanggi diikuti kemarahan yang semakin memuncak.

“Dari tetangga ... gak sengaja denger dari Ibu-ibu,” jawabnya. “Kelihatannya lo juga sering murung ... ini juga alesan lo jadi perokok, ya?” tanya Ramona memastikan.

“Jangan ngelewatin batas. Lo gak tahu apa-apa.” Yanggi beranjak, ia mengambil papan yang disenderkan pada bangku. Sekali lagi, ia meninggalkan gadis itu sendirian.

“Maaf, gue gak maksud ... gue cuma mau bantu ....”


Skatepark yang dinamakan savalas itu ramai. Apalagi pada tempat dimana banyak skater yang beradu dengan lintasan, dipenuhi para pemain handal. Mereka lebih sering menyebutnya arena. Arena untuk bertanding saling memamerkan trick extrime yang mereka kuasai.

Seratus khalayak atau mungkin lebih, telah berkumpul untuk menonton pertandingan. Sekilas terlihat seperti pertandingan kejuaraan sungguhan. Savalas memang terkenal, banyak skater dari kota lain juga sengaja datang ke sini.

Di tepi arena, terdapat dua komentator yang tengah duduk sembari menggenggam masing-masing mic di tangan. “Then ... Let's welcome our superior skater!!!” seru Tara sebagai komentator savalas.

“Yaa ... Even though Yanggi is more superior,” sindir Hugo yang juga berperan sebagai komentator.

“HAHAHAHAH!” Tawa para penonton pecah. Penonton sejati savalas pasti tahu, kalau Juno tidak pernah bisa menang melawan Yanggi.

“Our first skater! Juno Bastala!!”

Juno telah bersiap. Ia berdiri tegak di pinggiran flat dan menyiapkan papan. Deru napasnya teratur, seperti yakin sekali kalau hari ini kemenangan akan menjadi miliknya.

“ARE YOU READY?!!”

“YEAAAA!!” Gemuruh teriakan penonton merambat ke seluruh tempat, membuat banyak orang yang sekedar lewat memilih menengok sejenak apa yang terjadi pada skatepark ini.

Juno mulai mengayuh kaki kanannya, sementara kaki kiri tetap berada di atas papan. Tubuhnya condong ke depan. Kemudian ia meluncur bebas ke dalam arena.

“Here we go, he started with back side and ... woow big spins,” komentar Tara dari kejauhan.

Beberapa trick mulai dimainkan, saat sampai di bibir tanjakan, frontside air juga backside yang dilakukan sukses total.

“Yea and there we go ... frontside air!”

Pada tanjakan selanjutnya, ia menendang papan luncur di udara dengan menggunakan tumit kaki bagian depan dan berbelok seratus delapan puluh derajat pada saat yang bersamaan.

“WOW!! He takes the heelflip in the air and turn a 180 at the same time!!”

“It's overal interesting! it puts you in danger you know?”

“Mungkin Juno lebih pede kalo lawan mainnya cewe apa gimana nih?”

“Hahahah! Hari ini lebih santai ya, No?”

“Yoi Tar, skill dia makin jago aja hari ini.”

Dua komentator itu sedikit mengganggu fokus Juno, tetapi atensinya tidak goyah. Dengan napas tersengal, ia menutup aksinya dengan big spin.

“Okay! That's it Juno with no mistakes at all and also his skills are amazing!”

“Harusnya begini dari kemaren gak sih?” sahut Tara.

“Mungkin udah kena mental dulu bro sama Yanggi,” cibir Hugo.

“HAHAHAHAH!!” Semua tertawa, kecuali Juno tentunya. Ia mengacak rambut. Kesal sekali, bukannya mendapat pujian, dirinya malah ditertawakan.

“And now it's time for ... our new skater, who's electrifying the entire savalas!” sambut Hugo disusul seruan penonton.

Giliran Ramona yang akan menampilkan kemampuannya. Ia meraih papan yang tergeletak di atas tanah, bergerak menuju arena dengan menaiki skateboard. Tapi belum setengah jalan, terasa ada yang mengganjal. Ia sadar, papan ini tidak nyaman seperti biasanya. Roda pada papan miliknya seakan goyah. Padahal saat digunakan menuju savalas, skateboard berwarna merah muda itu nyaman saja ketika meluncur di jalanan.

“Jangan lengah, tadi lu liat kan? Dia gak jatuh sekalipun?”

Yanggi membuyarkan kecemasannya. Ia sudah sampai di pinggir arena. Melupakan kekhawatiran yang ada, Ramona memilih berpikir positif, mungkin itu hanya delusi belaka, mungkin ia begitu gugup, disaksikan banyak sepasang mata membuatnya seolah merasakan kalau skateboard yang dibawanya rusak.

“Ngelamun ya lu?” tanya Yanggi. Telapak tangannya dengan cepat digerakkan ke atas juga ke bawah tepat di depan wajah Ramona.

“Serius? Lo nanyain itu ke orang yang bisa ngalahin lawan terkuat di savalas?” timpal Ramona.

“Yaelahh songong juga ya lu?”

“Awas aja kalo kalah gua penyet juga lu.”

“HAHAHAH! OKAY OKAY!”

Yanggi pergi menjauhi Ramona, langkahnya menuju keluar arena.

“Anjing?!” Belum setengah jalan, ia dikejutkan oleh tabrakan bahu yang sengaja Juno perbuat.

“Galak bener gitu aja sarkas.” gumam Juno tepat di telinga Yanggi.

Yanggi tak menghiraukan lelaki itu, ia tidak mau mencari masalah di tengah keramaian. Ia melanjutkan langkah kakinya menjauhi Juno.

Melirik sekilas apakah Yanggi telah meninggalkan arena, Juno yang tadinya hendak menuju bangku, merubah langkahnya ke arah gadis yang tengah menunggu aba-aba.

“Gua saranin nyerah sekarang, sebelum diketawain banyak orang,” bisik Juno yang sekarang telah berada di samping Ramona.

“Oh, ini yang katanya paling songong di savalas?” sanggah Ramona yang sadar akan kehadiran Juno.

“Gak usah belagu, jangan salahin gua kalo papan lu patah gara-gara roda.”

“Elo?!”

Juno menyeringai, puas sekali melihat reaksi gadis di sampingnya.

“AND THIS IS OUR MASTERPIECE!” Tara mulai berseru. Gilirannya segera dimulai.

“Yaah, waktunya habis, padahal gua udah kasih saran buat nyerah, 'kan?”

“RAMONA QUIMBY!!”

“YEAAHHH!!”

Punggung lelaki itu menghilang dari balik keramaian, meninggalkan Ramona yang berada di ujung tanduk.

Ia mengatur napas lebih dalam, mengusir segala kemungkinan. Lintasan yang akan dilewati lebih extrime dari biasanya. Mau bagaimana lagi, ia tidak mau disebut pengecut karena mundur di tengah pertandingan.

Waktunya telah dimulai. Tubuhnya meluncur bebas, sampai di ujung lintasan vertikal, ia memegang bagian depan papan skate, kemudian kedua kaki disilangkan ke samping, seolah terlihat seperti sedang berjalan di udara. “Oh, ini nggak apa-apa,” batinnya usai berhasil melakukan airwalk.

“Oow, look at that cool airwalk!”

Mengetahui itu, Ramona berniat melakukan trick yang sudah ia persiapkan untuk memukau seluruh atensi di sini. Menuju tanjakan, ia naik dengan posisi membelakang, tubuhnya berputar, hampir melakukan dua kali jungkir balik, dan kemudian turun ke depan. Oh tidak, trick ini membuatnya sangat pusing sampai hampir kehilangan penglihatan.

“WHAT THE FUCK SHE DOES 720 AERIAL?!”

Ia berhasil membuat seluruh penonton tertegun, tapi tepat saat papannya menyentuh dataran, kedua roda depan papan terpental ke sembarang arah, membuat tubuhnya juga terlempar jatuh. Ramona mengaduh pelan, untung saja ia sudah mempersiapkan diri dengan menggunakan helm. Namun, jauh dari tempatnya terjatuh, papan miliknya telah terbelah menjadi dua sebab lemparan yang hebat.

“WAIT WAIT, WHAT HAPPENED WITH HER?!” Kedua komentator itu terperanjat, tidak percaya Ramona bisa jatuh begitu saja. “HE JUST FALLED???”

Semua atensi membeku, banyak yang kecewa. Tetapi bagi savalas yang paham akan dunia skate tetap maklum, trick yang baru saja ia lakukan berhasil, belum ada yang pernah melakukan hal gila semacam itu.

“Ram!!” Yanggi refleks turun ke arena, membuat seluruh savalas kaget dengan sikapnya yang tiba-tiba.

“Lu gapapa??” Kedua tangannya dengan sigap membantu Ramona berdiri.

“Lo gak liat gue mental?? Sakit tau! Aduh ... mana masih pusing juga!” Ramona menggertak kesal, percuma saja, ia tidak mampu berdiri. Kepalanya seolah berputar dan sekarang lututnya berlumuran darah.

“Yaudah sini,” tawarnya sambil membalikkan badan, ia menaruh tangan Ramona pada pundaknya.

“Diliatin ...,” ucap Ramona lirih. Ia khawatir akan menjadi pusat perhatian.

“Lu gak bisa bangun kan? Cepet naik! Atau mau ngesot aja hah?”

Ramona mengangguk, ia menerima punggung Yanggi. Yang menggendong bergegas melangkah meninggalkan arena. Yanggi sudah berpikir kalau gadis itu akan berat, mungkin saja ia akan berjalan tertatih. Namun sebaliknya, ia seperti tidak mengangkat beban, gadis itu ringan sekali seolah sedang menggendong anak kecil berusia tujuh tahun.

“CIEEEEE!”

Oh, ia lupa. Ratusan orang tengah menyaksikan mereka berdua. Ramona dan Yanggi, sebentar lagi nama mereka akan menjadi topik hangat. Bukan sekedar di lingkup savalas, tapi lewat mulut ke mulut atau hanya dengan satu ketikan, seluruh sekolah akan tahu.

“Apaan dah?!”

Ponselnya direbut paksa oleh tangan mungil milik gadis bersurai pendek.

Yanggi sempat refleks membuka suara, tak terima dengan perlakuan aneh yang tiba-tiba.

“Kalo ada orang yang nemenin lo tuh diajak ngomongg, bukan asik sendiri sama handphone!

“Siapa suruh nemenin gua?”

“Nih!” Ramona melempar sekaleng soda yang tadi ia beli untuk anak lelaki di sampingnya.

Yanggi balas menangkap dengan cekatan. “Makasih,” ucapnya sembari membuka cincin penarik kaleng.

“Yeuu, bayar ya!” kelakar Ramona.

“Ogah.”

“Idih??”

“Kita kan temen.”

Deru mobil dan motor bertaut menjadi satu, tak luput juga bunyi bel sepeda milik khalayak yang berlalu lalang mengitari alun-alun. Selang lima menit, tidak ada percakapan. Sedari tadi Yanggi hendak bertanya, namun ia memilih diam.

Atmosfernya sedikit canggung. Dia pikir Ramona akan terus mengoceh seperti sebelumnya. Tapi entah mengapa, kala ia mengucapkan kata itu sekaligus menerima Ramona sebagai 'teman', gadis itu langsung bungkam.

“Lo beneran nganggep gue temen?” Ramona membuka suara, namun ada yang berbeda, nada suaranya tidak melengking lagi.

Yanggi juga berpikir demikian, gadis itu nampak sedikit murung—eh? sepertinya bukan, rautnya lebih menjelaskan kalau ... akhirnya aku punya seorang teman.

“Jangan lebay.” Yanggi merogoh sejumlah uang receh dalam saku celana, ia lantas memberikannya kepada Ramona, “Nih, gua bayar.”

“Makasih.” Tanpa pikir panjang, Ramona menerima pemberian Yanggi. Dikiranya, gadis itu akan menolak. Yanggi pikir tagihan tadi hanya gurauan belaka.

“Kenapa pindah sini?” tanya Yanggi, sengaja mengganti arah pembicaraan.

“Gak tahu, ikut ortu aja,” Ramona menjawab santai disusul dengan satu tegukan soda. “Mungkin ntar gue juga bakal pindah lagi.”

“Lu sering pindah?”

“Udahh ... berapa kali ya? Mungkin ini yang kesebelas?”

“Gila.”

“Iya kan? Gila emang.”

“Pantes aja.”

“Apa?”

“Lu gak punya temen.”

Yanggi mengalihkan pandangan, lupa kalau ucapannya itu sepertinya kalimat sensitif yang seharusnya tidak ia ucapkan. Pikirannya terselimuti rasa bersalah, Ramona mungkin akan terdiam lagi sampai—entah sampai kapan, tergantung gadis itu sendiri.

“HAHAHAHAH! Omongan lu emang suka nusuk gitu ya?” Gadis itu terkekeh, tidak menyangka ucapan Yanggi bisa se-tepat ini. “Tudep juga,” sambungnya.

Yanggi heran, sudah bersiap ingin mengganti topik, tapi gadis di sebelahnya malah tertawa tanpa tersinggung.

“Ya lu kalo gak suka pergi aja,” balas Yanggi sarkas. Ia memilih melupakan perasaan orang, lebih memilih menjadi sarkas seperti biasanya.

“Nggak kok.” Ramona menoleh, menatap netra lelaki di sampingnya. “Gue suka,” ucapnya sambil menyimpulkan seutas senyum.

Mendengar itu, tangannya refleks meraih sekaleng soda, ia lantas hendak meneguknya, tapi lupa kalau itu hanya sebuah kaleng kosong, soda itu sudah habis daritadi.

“Udah habis ituu, nih ada lagi,” tutur Ramona sembari menyodorkan sebuah kaleng soda dengan merk yang sama.

“Eh lu,” ucap Yanggi seraya menerima sodoran Ramona. “Mau gabung savalas?”

“Apaan tuh?”

“Anjir lu gatau??”

“Engga?”

“Padahal lu udah rame di base.”

“Apa dah?”

“Tau tempat yang buat tanding kemaren? Itu savalas.”

“Ohhh, gue kira buat umum, berarti kemaren gue salah dong?”

“Emang.”

“Itu apa? Ekskul?”

“Bukan ekskul, tapi dibuat sama beberapa murid sekolah kita,” papar Yanggi. “Anak-anak dari sekolah kita ya, bukan pihak sekolah,” jelasnya sekali lagi.

“Artinya temen-temen gua yang bikin club itu.”

“Wahhhh, kerennn!” Ramona membuka mulutnya lebar, kagum dengan apa yang dijelaskan Yanggi.

“Semua yang kelola savalas dikenal satu sekolah, bahkan sampe sekolah lain juga.”

“Lo juga termasuk yang kelola?”

“Gua? HAHAHAH.”

“Mana ada gua mau ngurusin begituan? Ribet, mending jadi konsumen aja.”

“Tapi kayaknya lo dikenal satu sekolah?”

“Emangnya selain anak savalas gak bisa dikenal satu sekolah?”

“Nggak juga sih ....”

“Tapi gua jadi peran penting di savalas, MVP katanya, hahahah.”

“Gua juga ngerasa savalas itu rumah.” Kepalanya menunduk, terdengar deru napas kasar di akhir kalimat.

“Lu sendiri gimana?” sambung Yanggi sambil mendongakkan dagunya.

“Eh? Apa?”

“Mau gabung?”

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Disana pasti rame, 'kan?”

“Iyalah, jelas.”

“Gak mau, males ngobrol sama banyak orang.”

“HAHAHAHAH!”

“Boong banget luu,” cibir Yanggi tak terima. “Buktinya sama gua, lu nyrocos aja padahal baru sekali ketemu.”

“Beda tauu!”

“Apa yang beda?”

“Gue cerewet tuh kalo sama orang yang udah nyaman aja.”

“Maksudnya?”

“Lo bisa bikin gue nyaman sama lo.”

Gugurnya daun kering disusul goyangan pohon beringin yang tertiup angin, membuat suasana semakin canggung. Ramona selalu spontan dalam berbicara, tidak berpikir panjang untuk mengungkapkan perasaan, juga tidak pernah berpikir bagaimana perasaan orang yang mendengarnya.

“Cewek gak jelas.” Yanggi buru-buru menaiki skateboard miliknya, meninggalkan Ramona sendirian.

“EHH?? SALTING YAA??”

“EH PADAHAL GUE GAK MAKSUD LOH?”

“MAKSUDNYA TUH NYAMAN BISA JADI TEMENN!!”

“HEHH MAU KEMANAA??”

Setiap jam istirahat ia habiskan di sini—tepat di belakang bangunan kamar mandi khusus murid laki-laki.

Yanggi tengah sendirian, menyesap seputung marlboro yang ia selipkan diam-diam dalam saku celana.

Karbon monoksida yang dihasilkan menyebar ke segala penjuru—membuat siapa saja yang lewat, memilih membalikkan badan, tak kuasa dengan asap yang mengepul memenuhi ruangan.

Tidak ada yang berani mengusik seorang pecandu nikotin di sini. Bahkan teman dekatnya pun tak mau ikut merokok atau sekedar membahas gadis cantik di kelas sebelah. Jika batang rokok sudah habis sebagian, artinya tidak boleh ada yang mengganggu. Tempat ini resmi menjadi markas dirinya seorang diri, tidak boleh ada pengganggu.

“Wassupp!”

Setiap jam istirahat ia habiskan di sini—tepat di belakang bangunan kamar mandi khusus murid laki-laki.

Yanggi tengah sendirian, menyesap seputung marlboro yang ia selipkan diam-diam dalam saku celana.

Karbon monoksida yang dihasilkan menyebar ke segala penjuru—membuat siapa saja yang lewat, memilih membalikkan badan, tak kuasa dengan asap yang mengepul memenuhi ruangan.

Tidak ada yang berani mengusik seorang pecandu nikotin di sini. Bahkan teman dekatnya pun tak mau ikut merokok atau sekedar membahas gadis cantik di kelas sebelah. Jika batang rokok sudah habis sebagian, artinya tidak boleh ada yang mengganggu. Tempat ini resmi menjadi markas dirinya seorang diri, tidak boleh ada pengganggu.

“Wassupp!”

Setiap jam istirahat ia habiskan di sini—tepat di belakang bangunan kamar mandi khusus murid laki-laki.

Yanggi tengah sendirian, menyesap sepuntung marlboro yang ia selipkan diam-diam di dalam saku celana.

Karbon monoksida yang dihasilkan menyebar ke segala penjuru—membuat siapa saja yang lewat, memilih membalikkan badan, tak kuasa dengan asap yang mengepul memenuhi ruangan.

Tidak ada yang berani mengusik seorang pecandu nikotin di sini. Bahkan teman dekatnya pun tak mau turut merokok atau sekedar membahas anak perempuan cantik di kelas sebelah. Jika batang rokok sudah habis sebagian, artinya tidak boleh ada yang mengganggu. Tempat ini resmi menjadi markas dirinya seorang diri, tidak boleh ada pengganggu.

“Wassupp!”

Yanggi tersentak, sedikit lagi bisa saja ia menelan sebatang rokok.

“Ngapain lu di sini?” protes Yanggi seraya mematikan api yang masih menyala di ujung rokok.

“Cuma keliling sekolah?” balas gadis itu sambil mengedikkan bahu.

“Anak cewe mana yang keliling sekolah sampe belakang WC cowo??” timpal Yanggi dengan dahi mengernyit.

“Kan belakangnya, bukan WC-nya.” Gadis itu mengelak. Posisi berdiri sekarang telah ia ubah menjadi duduk di atas tumpukan batu bata besar.

Yanggi memutar bola mata malas, hendak mengusir tapi ia tahu pasti percuma. Ia tak menggubris, melanjutkan menyesap puntung rokok yang tersisa.

“Nih, yupi.” Gadis yang berjarak satu meter di depan, menyodorkan sebuah permen rasa stoberi kepadanya.

Yang ditawari hanya menatap sinis, maksudnya, bagaimana bisa dengan santainya gadis itu menyodorkan sebuah permen saat ia tengah menyesap nikotin?

“Kok diem aja? Nih ambil, pengganti rokok!”

“Lu boleh disini, tapi jangan ganggu gue. Bisa?”

“Nggak lah, kalo diem doang ya mendingan gue ngobrol ama pak satpam.”

“Yaudah sono.”

“Heh!!”

Yanggi baru saja hendak mengambil sebatang lagi dari kardus kecil, namun gerakannya terhenti oleh teriakan sang gadis.

“Apaan si?!”

“Dibilangin inii, makan yupi!!”

Kesabarannya menipis, Yanggi menggertakkan giginya. Sebuah 'yupi' itu berhasil membuat raut wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat.

“IYA ENGGAK! GUE DIEM.” Gadis itu bungkam, memilih mengalah. Kalau tidak, bisa saja ia diusir paksa sekarang juga.

“Eh iya, maaf tadi udah buat lo jatoh.” Selang beberapa detik, gadis itu membuka suara. Tentu saja tidak mungkin ia bungkam seketika, gadis itu tidak bisa.

“Ck,” decak Yanggi seraya mengalihkan pandangannya, meremehkan gadis di hadapannya, seolah-olah kata maaf itu sudah basi.

“Cak cek cak cek, bales iya kek? apa kek?” papar gadis itu dengan nada meninggi.

“Lu niat minta maaf gak si?” cetus Yanggi kesal.

Sang gadis mendengus sebal, susah sekali mengajak laki-laki itu berbincang.

“Mendingan lu pergi. Jangan caper, jangan sokap, jangan deketin gue.” Yanggi terbangun dari duduknya, disusul derap langkah kaki menjauhi gadis yang masih sebal dengan dirinya.

“Semakin dilarang biasanya semakin pengen deketin nggak sih?”

Cuaca hari ini cerah—sangat cerah sampai aku tidak bisa menemukan satupun awan yang terpajang di langit biru. Banyak orang berlalu lalang berteduh di bawah payung yang mereka bawa. Saat ini matahari sedang berada di puncaknya, ditambah pemanasan global yang terlanjur menggerogoti bumi.

Kipas angin ditempatkan di tengah dinding toko—sehingga semua orang kebagian tempat untuk mendinginkan badan. Tapi percuma, aku tetap merasa gerah. Aku selalu merutuki toko kecil ini, membatin kenapa Bu Sarmi—pemilik toko—tidak memasang kipas angin di tempat kasir. Bisakah sekali saja ia memikirkan pegawainya?

Rambut panjangku sudah dikuncir, bahkan aku sudah bersiap membawa kipas tangan dari rumah. Namun, cuaca enggan mengalah. Kesal sekali, ingin rasanya bergegas pulang, lalu merebahkan diri di atas sofa sambil meneguk sekaleng soda.

Ramai pembeli hari ini, tapi suasana hatiku benar-benar buruk. Aku melayani dengan malas—hanya fokus pada barang belanjaan. Malas sekali bahkan untuk sekedar melempar senyum pada pembeli.

“Cuaca hari ini panas banget ya mbak,” ujar salah satu pembeli sembari berjalan mendekati meja kasir.

Pembeli sok akrab lagi, pasti begitu. Entahlah, aku malas melihat wajahnya.

Tanpa menatap wajahnya, aku membalas, “Ya.”

Pembeli itu meletakkan keranjang belanjaannya di atas meja kasir. Aku mulai mengeluarkan satu-persatu barang dari keranjang, lalu memindai barang belanjaan dengan alat scan.

“Mbaknya kok tambah umur tambah cantik?”

“Pake dukun, mas.” Aku menjawab ketus—masih fokus memindai dengan alat scan.

Bisakah dia diam saja dan menunggu? Ini tidak sekali dua kali, banyak pembeli yang sering menggodaku. Anehnya, dari mana ia tahu semakin bertambah umur, aku semakin cantik? Memangnya dia pernah melihatku sewaktu sekolah dasar? Dasar, orang aneh. Tapi aku harus tetap profesional, berusaha menahan amarah, setidaknya aku bisa membalas tanpa menyumpah serapahi pembeli itu.

“Cantik-cantik tapi kok gelang jelek gitu masih dipake?”

Mendengar itu aku terkejut, siapa yang berani bilang pemberian gelang dari Zain itu jelek??

Aku mendongak, ia sengaja sekali ingin membuatku berkata kasar di depan wajahnya. “Jangan sembarangan ya mas! Ini pemberian orang yang saya su—”

Aku bungkam, mulutku tiba-tiba terkunci. Keningku berkerut, netraku menyelidik dari ujung kaki sampai ujung kepala pemuda itu. Maksudku, aku ... tidak salah lihat 'kan?

“Zain?”

“Maaf ya, udah nunggu lama.” Zain tersenyum, matanya ikut menyipit.

Senyum yang sama dan garis wajah yang sama seperti lima tahun silam. Yang membedakan, sekarang tinggi badannya setinggi pintu toko, suaranya juga lebih berat sampai aku tidak bisa mengenalinya.

Dan yang masih tetap sama ... aku memang masih menunggu. Bahkan setelah lima tahun lamanya, aku masih menunggu.

Tapi aku tidak tahu denganmu, apakah kamu sama gelisahnya sepertiku, atau datang untuk sekedar menyapa dan memperkenalkan seorang baru dalam hidupmu.

Cuaca hari ini cerah—bahkan sangat cerah sampai aku tidak bisa menemukan satupun awan yang terpajang di langit biru. Banyak orang yang berlalu lalang berteduh di bawah payung yang mereka bawa. Saat ini matahari sedang berada di puncaknya, ditambah pemanasan global yang terlanjur menggerogoti bumi.

Kipas angin ditempatkan di tengah dinding toko—sehingga semua orang kebagian tempat untuk mendinginkan badan. Tapi percuma, aku tetap merasa gerah. Aku selalu merutuki toko kecil ini, membatin kenapa Bu Sarmi—pemilik toko—tidak memasang kipas angin di tempat kasir, Bisakah sekali saja ia memikirkan pegawainya?

Rambut panjangku sudah dikuncir, bahkan aku sudah bersiap membawa kipas tangan dari rumah. Namun, cuaca enggan mengalah. Kesal sekali, ingin rasanya bergegas pulang, lalu merebahkan diri di atas sofa sambil meneguk sekaleng soda.

Banyak pembeli hari ini, tapi suasana hatiku benar-benar buruk. Aku melayani dengan malas—hanya berfokus pada barang belanjaan, malas sekali bahkan untuk sekedar melempar senyum pada pembeli.

“Cuaca hari ini panas banget ya mbak,” ujar salah satu pembeli sembari berjalan mendekati meja kasir.

Pembeli sok akrab lagi, pasti begitu. Entahlah, aku malas melihat wajahnya.

Tanpa menatap wajahnya, aku membalas, “Ya.”

Setelah basa-basi, pembeli itu meletakkan keranjang belanjaannya ke atas meja kasir. Aku mulai mengeluarkan satu-persatu barang dari keranjang, lalu memindai barang belanjaan dengan alat scan.

“Mbaknya kok tambah umur tambah cantik?”

“Pake dukun, mas.” Aku menjawab ketus—masih fokus memindai barang.

Bisakah dia diam saja dan menunggu? Ini tak sekali dua kali, banyak pembeli yang sering menggodaku. Anehnya, dari mana ia tahu semakin bertambahnya umur aku semakin cantik? Memangnya dia pernah melihatku sewaktu sekolah dasar? Dasar, gombalan aneh. Namun aku harus profesional, berusaha menahan amarah, setidaknya aku bisa membalas tanpa menyumpah serapahi pembeli itu.

“Cantik-cantik tapi kok gelang jelek gitu masih dipake?”

Mendengar itu aku terkejut, siapa yang berani bilang pemberian gelang dari Zain itu jelek??

Aku mendongak, pembeli itu sengaja sekali ingin membuatku berujar kasar di depan wajahnya. “Jangan sembarangan ya mas! Ini pemberian orang yang saya suk—”

Aku bungkam, mulutku tiba-tiba terkunci. Keningku berkerut, netraku menyelidik dari ujung kaki sampai ujung kepala pemuda itu. Maksudku, aku ... tidak salah lihat 'kan?

“Zain?”

“Maaf ya, udah nunggu lama.” Zain tersenyum, matanya refleks menyipit. Senyum yang sama dan garis wajah yang sama seperti lima tahun silam. Yang membedakan, sekarang tinggi badannya setinggi pintu toko, suaranya juga lebih berat sampai aku tidak bisa mengenalinya.

Dan yang masih tetap sama ... aku memang masih menunggu. Bahkan setelah lima tahun lamanya, aku masih menunggu.

Tapi aku tidak tahu dengan Zain, apakah dia sama gelisahnya sepertiku, atau datang untuk sekedar menyapa dan memperkenalkan seorang baru dalam hidupmu.

Cuaca hari ini cerah—bahkan sangat cerah sampai aku tidak bisa menemukan satupun awan yang terpajang di langit biru. Banyak orang yang berlalu lalang berteduh di bawah payung yang mereka bawa. Saat ini matahari sedang berada di puncaknya, ditambah pemanasan global yang terlanjur menggerogoti bumi.

Kipas angin ditempatkan di tengah dinding toko—sehingga semua orang kebagian tempat untuk mendinginkan badan. Tapi percuma, aku tetap merasa gerah. Aku selalu merutuki toko kecil ini, membatin kenapa Bu Sarmi—pemilik toko—tidak memasang kipas angin di tempat kasir, Bisakah sekali saja ia memikirkan pegawainya?

Rambut panjangku sudah dikuncir, bahkan aku sudah bersiap membawa kipas tangan dari rumah. Namun, cuaca enggan mengalah. Kesal sekali, ingin rasanya bergegas pulang, lalu merebahkan diri di atas sofa sambil meneguk sekaleng soda.

Banyak pembeli hari ini, tapi suasana hatiku benar-benar buruk. Aku melayani dengan malas—hanya berfokus pada barang belanjaan, malas sekali bahkan untuk sekedar melempar senyum pada pembeli.

“Cuaca hari ini panas banget ya mbak,” ujar salah satu pembeli sambil mendekati meja kasir.

Pembeli sok akrab lagi, pasti begitu. Entahlah, aku malas melihat wajahnya.

Tanpa menatap wajahnya, aku membalas, “Ya.”

Setelah basa-basi, pembeli itu meletakkan keranjang belanjaannya ke atas meja kasir. Aku mulai mengeluarkan satu-persatu barang dari keranjang, lalu memindai barang belanjaan dengan alat scan.

“Mbaknya kok tambah umur tambah cantik?”

“Pake dukun, mas.” Aku menjawab ketus—masih fokus memindai barang.

Bisakah dia diam saja dan menunggu? Ini tak sekali dua kali, banyak pembeli yang sering menggodaku. Anehnya, dari mana ia tahu semakin bertambahnya umur aku semakin cantik? Memangnya dia pernah melihatku sewaktu sekolah dasar? Dasar, gombalan aneh. Namun aku harus profesional, berusaha menahan amarah, setidaknya aku bisa membalas tanpa menyumpah serapahi pembeli itu.

“Cantik-cantik tapi kok gelang jelek gitu masih dipake?”

Mendengar itu aku terkejut, siapa yang berani bilang pemberian gelang dari Zain itu jelek??

Aku mendongak, pembeli itu sengaja sekali ingin membuatku berujar kasar di depan wajahnya. “Jangan sembarangan ya mas! Ini pemberian orang yang saya suk—”

Aku bungkam, mulutku tiba-tiba terkunci. Keningku berkerut, netraku menyelidik dari ujung kaki sampai ujung kepala pemuda itu. Maksudku, aku ... tidak salah lihat 'kan?

“Zain?”

“Maaf ya, udah nunggu lama.” Zain tersenyum, matanya refleks menyipit. Senyum yang sama dan garis wajah yang sama seperti lima tahun silam. Yang membedakan, sekarang tinggi badannya setinggi pintu toko, suaranya juga lebih berat sampai aku tidak bisa mengenalinya.

Dan yang masih tetap sama ... aku memang masih menunggu. Bahkan setelah lima tahun lamanya, aku masih menunggu.

Tapi aku tidak tahu dengan Zain, apakah dia sama gelisahnya sepertiku, atau datang untuk sekedar menyapa dan memperkenalkan seorang baru dalam hidupmu.