amarylie

amateur writer


Semilir angin yang berembus meniup surai legamnya hingga tergiring tarian angin. Ia beberapa kali merapikan rambutnya yang kian kemari. Arthur sudah menawarkan agar keduanya beralih ke tempat yang lebih hangat, tapi ia menolak—katanya, rasi bintang jauh lebih indah dilihat dari atas sini.

Arthur memerhatikannya lamat-lamat, kemudian melontarkan sebuah tanya, “Dingin?”

“Engga—”

Sebelum Livia menyelesaikan kalimat, gerakan gesitnya melepas jaket, menyandarkannya pelan melingkupi bahu Livia. “Gue bilang juga apa, harusnya kita pindah tempat,” ucapnya sambil menautkan kancing jaket yang Livia kenakan.

“Tadi kan gue udah bilang gak mau.”

“Iya, iyaa. Gue juga lebih suka lihat bintang dari atas sini.” Arthur mengalah, mengikuti alur kemauan Livia.

Tidak ada obrolan lagi. Hanya angin yang berbicara. Ia enggan mencari topik. Arthur juga sepertinya sama.

Tangannya kembali mengepal. Menatap asap putih yang menguap dari secangkir kopi panas. Sebenarnya sejak tadi, ia selalu menghindari tatapan lelaki dengan kemeja biru. Dengan paras rupawan dan senyuman yang hanya tertuju untuk dirinya, Livia bahkan tak berani meliriknya.

“Keira bukan pacar gue, Liv. Satu-satunya orang yang gue suka itu cuma lo.”

Matanya spontan mendelik saat mendengar pernyataan tersebut. Bagaimana tidak? Belum sempat ia menyeruput latte panas, pemuda ini sudah mulai menyatakan perasaan.

I've liked you since we were in middle school.” Arthur mengambil napas dalam, netranya menatap Livia penuh harap. “Would you requite the sentiment I've been bearing all these times?

Livia termangu. Sekujur tubuhnya kaku. Ia bingung harus bereaksi seperti apa.

Namun, afeksi yang ia dapatkan malah membuatnya pilu. Lekumnya tercekat. Netranya membendung tangis. Mungkin memang berlebihan, atau sangat. Tapi emosi yang selama ini ia pendam meluap begitu saja. Seseorang yang susah payah ia lupakan, malah membalas perasaan di saat ia mulai merelakan.

“Eh? Kok malah nangis?” Arthur terlihat panik—takut kalau ia salah bicara.

Livia masih terisak, berusaha menahan air matanya yang hampir berlinang. “Gue ... gue udah suka sama lo dari jaman baju sailormoon, tahu gak? Waktu lo masih pake dasi kupu-kupu polkadot sama rambut lo klimis banget, persis Kak Seto.”

Arthur tertawa lepas, netranya selalu bersembunyi saat tertawa. “Beneran? Dari jaman TK? Ternyata lo lebih menderita daripada gue, ya?”

“Kenapa lo lucu banget sih?” ucap Arthur seraya mengangkat tangan kanannya perlahan.

Ia tampak terkejut ketika tangan kanan lelaki itu membelai lembut surainya yang berantakan. Livia meliriknya sekilas, senyum khas lelaki itu belum pudar.

Bola matanya kembali beralih—belum berani saling tatap. “Then ... what are we now?” Livia sedikit menoleh agar tangan Arthur beringsut turun.

“Apa lagi? Bukannya udah jelas? Oh ... Iya, ya? harus diomongin secara langsung?”

“GAK USAH!”

Mendadak senyap. Teriakan Livia menciptakan suasana canggung. “Maaf,” ucapnya terbata. Untungnya tidak ada satupun pengunjung selain mereka. Kalau iya, mungkin Livia akan berlari lagi meninggalkan Arthur.

Hening baru pecah saat Arthur melepas tawa. “Ngapain minta maaf, Liviaaa.”

“Olivi—”

“IYAA MAU!” Livia menyela dengan cepat. Arthur benar-benar keras kepala. Gadis itu tak suka mengulang pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

Arthur terkekeh pelan, “Kenapa kita jadi canggung gini, ya? Padahal dulu enggak gini, 'kan?”

Kepalanya mendongak—menatap ribuan bintang yang tak bosan berkedip—ia tengah memberi jeda untuk ucapan selanjutnya.

Untuk kesekian kalinya, Arthur tersenyum. “Makasih, ya, Pia.”


“Kenapa bilang makasih?” Alis gadis kecil itu mengkerut. Anak lelaki yang sedang duduk di salah satu bangku membuatnya bingung.

“Makasih banyaaak, udah mau nemenin aku!” Ia menyengir—menampakkan deretan gigi putihnya.

“Iya, Arthuur. Eh kalo mau nangis lagi juga gak apa-apa!” Tangan kanannya memberi uluran—memapah anak laki-laki yang ia panggil Arthur.

“Tapi laki-laki kan gak boleh nangis,” ucap Arthur seraya berdiri—menerima uluran tangannya.

“Kenapa? Itu kan wajar,” ujarnya sambil menepuk-nepuk baju Arthur yang kotor.

“Wajar itu apa?” Arthur kecil balas tanya kebingungan.

“Tanya aja sama bapakmu!” Bola matanya memutar malas. Gadis kecil itu enggan menjawab—lebih tepatnya ia tahu, tapi tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya.

Arthur tidak terlalu memedulikan omongan temannya yang tak acuh. Ia masih terpikir tentang seseorang. “Pia ... aku mau minta tolong lagi ....” Arthur merengek kecil pada Livia—atau yang sering ia sebut 'Pia'

“Minta tolong apa?”

“Boleh?”

“Iyaaa!”

“Nggak ngerepotin kamu, 'kan?”

“ENGGAKK, CEPETAAN!”

Ia tertawa kecil mendengar teriakan Livia. Arthur suka sekali menjahili temannya—terutama Livia. Tanpa bertanya lagi, Arthur menjawab, “Boleh bantu aku cari kado buat Mama?”

“Gak jadi beli kue lagi?” tanya Livia heran.

“Gak mau ... nanti jatoh lagi.” Raut wajahnya berubah masam. Ia masih kesal. Tadi—selepas membeli kue, Arthur berlari girang sambil membawa sebuah kotak berisi tart strawberry. Tapi kemudian, kue tar yang dibawa menjadi tak berbentuk karena ulahnya—kakinya tiba-tiba tersandung bebatuan tanpa sepenglihatan.

“Yaudah, ayo!” Livia membuyarkan penyesalan. Tangannya langsung menarik lengan mungil Arthur.

“Pia ....” Langkah kaki mereka terhenti. Arthur melepas genggaman Livia.

Livia menoleh. “Apa?”

“Boleh minjem uang kamu dulu, nggak? Uangnya abis buat beli kue ...,” ucapnya malu-malu. Ini pertama kalinya Arthur meminjam sesuatu dari teman sebaya.

Livia berdecak. Gadis kecil itu menghela napas panjang. “Iya baweel.”

“Jangan tanya bawel itu apa.” Baru saja hendak membuka mulut, ucapan Livia langsung membungkam mulutnya.

“Kamu pinter banget, ya! Tahu banyak kata!” celetuk Arthur dengan senyum yang mengembang.

Livia lanjut melangkah—menyembunyikan telinganya yang berubah kemerahan. “Iya dong! Pia gitu lohh!” ucapnya sambil membusungkan dada.

“Pia!” Teriak Arthur yang tertinggal di belakang. Langkahnya dipercepat agar bisa menyusul Livia. “Nanti kalo udah gede, aku ganti!” seru Arthur dengan napas berderu.

“Gak usah.”

“Kenapa gitu?”

“Gantinya besok aja, kalo nunggu kamu gede kelamaan!”

Keduanya saling melempar tawa. Tawa renyah mereka membuat siapapun yang lewat ikut tersenyum melihatnya.

“Ayoo!! Nanti keburu gelap!” ajak Livia tak sabaran.

Arthur mengangguk. Kaki kecil mereka melanjutkan langkah. Ia menggenggam lebih dulu tangan Livia. Senyumnya merekah bersamaan dengan sinar mentari yang menerpa wajahnya. Gadis kecil itu sedikit ternganga. Entahlah, perasaan ini sangat asing baginya. Pupil matanya bergetar, detak jantungnya tiba-tiba berpacu lebih cepat.

“Aneh,” batinnya. Livia selalu biasa saja ketika melihat Arthur yang hobi tersenyum. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Mungkin karena diterpa cahaya surya? Karena itu anak lelaki ini terlihat 'berbeda?'

Livia terus menanyakan dirinya sendiri. Ia belum paham tentang semua ini, tapi kupu-kupu yang berterbangan di perutnya telah bangun lebih awal.

“Kamu demam?” Arthur menaruh telapak tangannya di dahi Livia, memastikan kalau temannya baik-baik saja.

“Enggak, tuh?”

“Wajah kamu merah!”

“Eh?” Livia refleks memegang kedua pipinya. Ia bingung kenapa bukan dahi yang terasa panas, melainkan pipinya.

Itu awal mula tabiat Livia. Pipi bulatnya akan selalu merona jika melihat lelaki sang pemilik senyum bulan sabit.


Semilir angin yang berembus meniup surai legamnya hingga tergiring tarian angin. Ia beberapa kali merapikan rambutnya yang kian kemari. Arthur sudah menawarkan agar keduanya beralih ke tempat yang lebih hangat, tapi ia menolak—katanya, rasi bintang jauh lebih indah dilihat dari atas sini.

Arthur memerhatikannya lamat-lamat, kemudian melontarkan sebuah tanya, “Dingin?”

“Engga—”

Sebelum Livia menyelesaikan kalimat, gerakan gesitnya melepas jaket, menyandarkannya pelan melingkupi bahu Livia. “Gue bilang juga apa, harusnya kita pindah tempat,” ucapnya sambil menautkan kancing jaket yang Livia kenakan.

“Tadi kan gue udah bilang gak mau.”

“Iya, iyaa. Gue juga lebih suka lihat bintang dari atas sini.” Arthur mengalah, mengikuti alur kemauan Livia.

Tidak ada obrolan lagi. Hanya angin yang berbicara. Ia enggan mencari topik. Arthur juga sepertinya sama.

Tangannya kembali mengepal. Menatap asap putih yang menguap dari secangkir kopi panas. Sebenarnya sejak tadi, ia selalu menghindari tatapan lelaki dengan kemeja biru. Dengan paras rupawan dan senyuman yang hanya tertuju untuk dirinya, Livia bahkan tak berani meliriknya.

“Keira bukan pacar gue, Liv. Satu-satunya orang yang gue suka itu cuma lo.”

Matanya spontan mendelik saat mendengar pernyataan tersebut. Bagaimana tidak? Belum sempat ia menyeruput latte panas, pemuda ini sudah mulai menyatakan perasaan.

I've liked you since we were in middle school.” Arthur mengambil napas dalam, netranya menatap Livia penuh harap. “Would you requite the sentiment I've been bearing all these times?

Livia termangu. Sekujur tubuhnya kaku. Ia bingung harus bereaksi seperti apa.

Namun, afeksi yang ia dapatkan malah membuatnya pilu. Lekumnya tercekat. Netranya membendung tangis. Mungkin memang berlebihan, atau sangat. Tapi emosi yang selama ini ia pendam meluap begitu saja. Seseorang yang susah payah ia lupakan, malah membalas perasaan di saat ia mulai merelakan.

“Eh? Kok malah nangis?” Arthur terlihat panik—takut kalau ia salah bicara.

Livia masih terisak, berusaha menahan air matanya yang hampir berlinang. “Gue ... gue udah suka lo dari jaman baju sailormoon, tahu gak? Waktu lo masih pake dasi kupu-kupu polkadot sama rambut lo klimis banget persis Kak Seto.”

Arthur tertawa lepas, netranya selalu bersembunyi saat tertawa. “Beneran? Dari jaman TK? Ternyata lo lebih menderita daripada gue, ya?”

“Kenapa lo lucu banget sih?” ucap Arthur seraya mengangkat tangan kanannya perlahan.

Ia tampak terkejut ketika tangan kanan lelaki itu membelai lembut surainya yang berantakan. Livia meliriknya sekilas, senyum khas lelaki itu belum pudar.

Bola matanya kembali beralih—belum berani saling tatap. “Then ... what are we now?” Livia sedikit menoleh agar tangan Arthur beringsut turun.

“Apa lagi? Bukannya udah jelas? Oh ... Iya, ya? harus diomongin secara langsung?”

“GAK USAH!”

Mendadak senyap. Teriakan Livia menciptakan suasana canggung. “Maaf,” ucapnya terbata. Untungnya tidak ada satupun pengunjung selain mereka. Kalau iya, mungkin Livia akan berlari lagi meninggalkan Arthur.

Hening baru pecah saat Arthur melepas tawa. “Ngapain minta maaf, Liviaaa.”

“Olivi—”

“IYAA MAU!” Livia menyela dengan cepat. Arthur benar-benar keras kepala. Gadis itu tak suka mengulang pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

Arthur terkekeh pelan, “Kenapa kita jadi canggung gini, ya? Padahal dulu enggak gini, 'kan?”

Kepalanya mendongak—menatap ribuan bintang yang tak bosan berkedip—ia tengah memberi jeda untuk ucapan selanjutnya.

Untuk kesekian kalinya, Arthur tersenyum. “Makasih, ya, Pia.”


“Kenapa bilang makasih?” Alis gadis kecil itu mengkerut. Anak lelaki yang sedang duduk di salah satu bangku membuatnya bingung.

“Makasih banyaaak, udah mau nemenin aku!” Ia menyengir—menampakkan deretan gigi putihnya.

“Iya, Arthuur. Eh kalo mau nangis lagi juga gak apa-apa!” Tangan kanannya memberi uluran—memapah anak laki-laki yang ia panggil Arthur.

“Tapi laki-laki kan gak boleh nangis,” ucap Arthur seraya berdiri—menerima uluran tangannya.

“Kenapa? Itu kan wajar,” ujarnya sambil menepuk-nepuk baju Arthur yang kotor.

“Wajar itu apa?” Arthur kecil balas tanya kebingungan.

“Tanya aja sama bapakmu!” Bola matanya memutar malas. Gadis kecil itu enggan menjawab—lebih tepatnya ia tahu, tapi tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya.

Arthur tidak terlalu memedulikan omongan temannya yang tak acuh. Ia masih terpikir tentang seseorang. “Pia ... aku mau minta tolong lagi ....” Arthur merengek kecil pada Livia—atau yang sering ia sebut 'Pia'

“Minta tolong apa?”

“Boleh?”

“Iyaaa!”

“Nggak ngerepotin kamu, 'kan?”

“ENGGAKK, CEPETAAN!”

Ia tertawa kecil mendengar teriakan Livia. Arthur suka sekali menjahili temannya—terutama Livia. Tanpa bertanya lagi, Arthur menjawab, “Boleh bantu aku cari kado buat Mama?”

“Gak jadi beli kue lagi?” tanya Livia heran.

“Gak mau ... nanti jatoh lagi.” Raut wajahnya berubah masam. Ia masih kesal. Tadi—selepas membeli kue, Arthur berlari girang sambil membawa sebuah kotak berisi tart strawberry. Tapi kemudian, kue tar yang dibawa menjadi tak berbentuk karena ulahnya—kakinya tiba-tiba tersandung bebatuan tanpa sepenglihatan.

“Yaudah, ayo!” Livia membuyarkan penyesalan. Tangannya langsung menarik lengan mungil Arthur.

“Pia ....” Langkah kaki mereka terhenti. Arthur melepas genggaman Livia.

Livia menoleh. “Apa?”

“Boleh minjem uang kamu dulu, nggak? Uangnya abis buat beli kue ...,” ucapnya malu-malu. Ini pertama kalinya Arthur meminjam sesuatu dari teman sebaya.

Livia berdecak. Gadis kecil itu menghela napas panjang. “Iya baweel.”

“Jangan tanya bawel itu apa.” Baru saja hendak membuka mulut, ucapan Livia langsung membungkam mulutnya.

“Kamu pinter banget, ya! Tahu banyak kata!” celetuk Arthur dengan senyum yang mengembang.

Livia lanjut melangkah—menyembunyikan telinganya yang berubah kemerahan. “Iya dong! Pia gitu lohh!” ucapnya sambil membusungkan dada.

“Pia!” Teriak Arthur yang tertinggal di belakang. Langkahnya dipercepat agar bisa menyusul Livia. “Nanti kalo udah gede, aku ganti!” seru Arthur dengan napas berderu.

“Gak usah.”

“Kenapa gitu?”

“Gantinya besok aja, kalo nunggu kamu gede kelamaan!”

Keduanya saling melempar tawa. Tawa renyah mereka membuat siapapun yang lewat ikut tersenyum melihatnya.

“Ayoo!! Nanti keburu gelap!” ajak Livia tak sabaran.

Arthur mengangguk. Kaki kecil mereka melanjutkan langkah. Ia menggenggam lebih dulu tangan Livia. Senyumnya merekah bersamaan dengan sinar mentari yang menerpa wajahnya. Gadis kecil itu sedikit ternganga. Entahlah, perasaan ini sangat asing baginya. Pupil matanya bergetar, detak jantungnya tiba-tiba berpacu lebih cepat.

“Aneh,” batinnya. Livia selalu biasa saja ketika melihat Arthur yang hobi tersenyum. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Mungkin karena diterpa cahaya surya? Karena itu anak lelaki ini terlihat 'berbeda?'

Livia terus menanyakan dirinya sendiri. Ia belum paham tentang semua ini, tapi kupu-kupu yang berterbangan di perutnya telah bangun lebih awal.

“Kamu demam?” Arthur menaruh telapak tangannya di dahi Livia, memastikan kalau temannya baik-baik saja.

“Enggak, tuh?”

“Wajah kamu merah!”

“Eh?” Livia refleks memegang kedua pipinya. Ia bingung kenapa bukan dahi yang terasa panas, melainkan pipinya.

Itu awal mula tabiat Livia. Pipi bulatnya akan selalu merona jika melihat lelaki sang pemilik senyum bulan sabit.


Semilir angin yang berembus meniup surai legamnya hingga tergiring tarian angin. Ia beberapa kali merapikan rambutnya yang kian kemari. Arthur sudah menawarkan agar keduanya beralih ke tempat yang lebih hangat, tapi ia menolak—katanya, rasi bintang jauh lebih indah dilihat dari atas sini.

Arthur memerhatikannya lamat-lamat, kemudian melontarkan sebuah tanya, “Dingin?”

“Engga—”

Sebelum Livia menyelesaikan kalimat, gerakan gesitnya melepas jaket, menyandarkannya pelan melingkupi bahu Livia. “Gue bilang juga apa, harusnya kita pindah tempat,” ucapnya sambil menautkan kancing jaket yang Livia kenakan.

“Tadi kan gue udah bilang gak mau.”

“Iya, iyaa. Gue juga lebih suka lihat bintang dari atas sini.” Arthur mengalah, mengikuti alur kemauan Livia.

Tidak ada obrolan lagi. Hanya angin yang berbicara. Ia enggan mencari topik. Arthur juga sepertinya sama.

Tangannya kembali mengepal. Menatap asap putih yang menguap dari secangkir kopi panas. Sebenarnya sejak tadi, ia selalu menghindari tatapan lelaki dengan kemeja biru. Dengan paras rupawan dan senyuman yang hanya tertuju untuk dirinya, Livia bahkan tak berani meliriknya.

“Keira bukan pacar gue, Liv. Satu-satunya orang yang gue suka itu cuma lo.”

Matanya spontan mendelik saat mendengar pernyataan tersebut. Bagaimana tidak? Belum sempat ia menyeruput latte panas, pemuda ini sudah mulai menyatakan perasaan.

I've liked you since we were in middle school.” Arthur mengambil napas dalam, netranya menatap Livia penuh harap. “Would you requite the sentiment I've been bearing all these times?

Livia termangu. Sekujur tubuhnya kaku. Ia bingung harus bereaksi seperti apa.

Namun, afeksi yang ia dapatkan malah membuatnya pilu. Lekumnya tercekat. Netranya membendung tangis. Mungkin memang berlebihan, atau sangat. Tapi emosi yang selama ini ia pendam meluap begitu saja. Seseorang yang susah payah ia lupakan, malah membalas perasaan di saat ia mulai merelakan.

“Eh? Kok malah nangis?” Arthur terlihat panik—takut kalau ia salah bicara.

Livia masih terisak, berusaha menahan air mata yang berlinang. “Gue ... gue udah suka lo dari jaman baju sailormoon, tahu gak? Waktu lo masih pake dasi kupu-kupu polkadot sama rambut lo klimis banget persis Kak Seto.”

Arthur tertawa lepas, netranya selalu bersembunyi saat tertawa. “Beneran? Dari jaman TK? Ternyata lo lebih menderita daripada gue, ya?”

“Kenapa lo lucu banget sih?” ucap Arthur seraya mengangkat tangan kanannya perlahan.

Ia tampak terkejut ketika tangan kanan lelaki itu membelai lembut surainya yang berantakan. Livia meliriknya sekilas, senyum khas lelaki itu belum pudar.

Bola matanya kembali beralih—belum berani saling tatap. “Then ... what are we now?” Livia sedikit menoleh agar tangan Arthur beringsut turun.

“Apa lagi? Bukannya udah jelas? Oh ... Iya, ya? harus diomongin secara langsung?”

“GAK USAH!”

Mendadak senyap. Teriakan Livia menciptakan suasana canggung. “Maaf,” ucapnya terbata. Untungnya tidak ada satupun pengunjung selain mereka. Kalau iya, mungkin Livia akan berlari lagi meninggalkan Arthur.

Hening baru pecah saat Arthur melepas tawa. “Ngapain minta maaf, Liviaaa.”

“Olivi—”

“IYAA MAU!” Livia menyela dengan cepat. Arthur benar-benar keras kepala. Gadis itu tak suka mengulang pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

Arthur terkekeh pelan, “Kenapa kita jadi canggung gini, ya? Padahal dulu enggak gini, 'kan?”

Kepalanya mendongak—menatap ribuan bintang yang tak bosan berkedip—ia tengah memberi jeda untuk ucapan selanjutnya.

Untuk kesekian kalinya, Arthur tersenyum. “Makasih, ya, Pia.”


“Kenapa bilang makasih?” Alis gadis kecil itu mengkerut. Anak lelaki yang sedang duduk di salah satu bangku membuatnya bingung.

“Makasih banyaaak, udah mau nemenin aku!” Ia menyengir—menampakkan deretan gigi putihnya.

“Iya, Arthuur. Eh kalo mau nangis lagi juga gak apa-apa!” Tangan kanannya memberi uluran—memapah anak laki-laki yang ia panggil Arthur.

“Tapi laki-laki kan gak boleh nangis,” ucap Arthur seraya berdiri—menerima uluran tangannya.

“Kenapa? Itu kan wajar,” ujarnya sambil menepuk-nepuk baju Arthur yang kotor.

“Wajar itu apa?” Arthur kecil balas tanya kebingungan.

“Tanya aja sama bapakmu!” Bola matanya memutar malas. Gadis kecil itu enggan menjawab—lebih tepatnya ia tahu, tapi tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya.

Arthur tidak terlalu memedulikan omongan temannya yang tak acuh. Ia masih terpikir tentang seseorang. “Pia ... aku mau minta tolong lagi ....” Arthur merengek kecil pada Livia—atau yang sering ia sebut 'Pia'

“Minta tolong apa?”

“Boleh?”

“Iyaaa!”

“Nggak ngerepotin kamu, 'kan?”

“ENGGAKK, CEPETAAN!”

Ia tertawa kecil mendengar teriakan Livia. Arthur suka sekali menjahili temannya—terutama Livia. Tanpa bertanya lagi, Arthur menjawab, “Boleh bantu aku cari kado buat Mama?”

“Gak jadi beli kue lagi?” tanya Livia heran.

“Gak mau ... nanti jatoh lagi.” Raut wajahnya berubah masam. Ia masih kesal. Tadi—selepas membeli kue, Arthur berlari girang sambil membawa sebuah kotak berisi tart strawberry. Tapi kemudian, kue tar yang dibawa menjadi tak berbentuk karena ulahnya—kakinya tiba-tiba tersandung bebatuan tanpa sepenglihatan.

“Yaudah, ayo!” Livia membuyarkan penyesalan. Tangannya langsung menarik lengan mungil Arthur.

“Pia ....” Langkah kaki mereka terhenti. Arthur melepas genggaman Livia.

Livia menoleh. “Apa?”

“Boleh minjem uang kamu dulu, nggak? Uangnya abis buat beli kue ...,” ucapnya malu-malu. Ini pertama kalinya Arthur meminjam sesuatu dari teman sebaya.

Livia berdecak. Gadis kecil itu menghela napas panjang. “Iya baweel.”

“Jangan tanya bawel itu apa.” Baru saja hendak membuka mulut, ucapan Livia langsung membungkam mulutnya.

“Kamu pinter banget, ya! Tahu banyak kata!” celetuk Arthur dengan senyum yang mengembang.

Livia lanjut melangkah—menyembunyikan telinganya yang berubah kemerahan. “Iya dong! Pia gitu lohh!” ucapnya sambil membusungkan dada.

“Pia!” Teriak Arthur yang tertinggal di belakang. Langkahnya dipercepat agar bisa menyusul Livia. “Nanti kalo udah gede, aku ganti!” seru Arthur dengan napas berderu.

“Gak usah.”

“Kenapa gitu?”

“Gantinya besok aja, kalo nunggu kamu gede kelamaan!”

Keduanya saling melempar tawa. Tawa renyah mereka membuat siapapun yang lewat ikut tersenyum melihatnya.

“Ayoo!! Nanti keburu gelap!” ajak Livia tak sabaran.

Arthur mengangguk. Kaki kecil mereka melanjutkan langkah. Ia menggenggam lebih dulu tangan Livia. Senyumnya merekah bersamaan dengan sinar mentari yang menerpa wajahnya. Gadis kecil itu sedikit ternganga. Entahlah, perasaan ini sangat asing baginya. Pupil matanya bergetar, detak jantungnya tiba-tiba berpacu lebih cepat.

“Aneh,” batinnya. Livia selalu biasa saja ketika melihat Arthur yang hobi tersenyum. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Mungkin karena diterpa cahaya surya? Karena itu anak lelaki ini terlihat 'berbeda?'

Livia terus menanyakan dirinya sendiri. Ia belum paham tentang semua ini, tapi kupu-kupu yang berterbangan di perutnya telah bangun lebih awal.

“Kamu demam?” Arthur menaruh telapak tangannya di dahi Livia, memastikan kalau temannya baik-baik saja.

“Enggak, tuh?”

“Wajah kamu merah!”

“Eh?” Livia refleks memegang kedua pipinya. Ia bingung kenapa bukan dahi yang terasa panas, melainkan pipinya.

Itu awal mula tabiat Livia. Pipi bulatnya akan selalu merona jika melihat lelaki pemilik senyum bulan sabit.


Semilir angin yang berembus meniup surai legamnya hingga tergiring tarian angin. Ia beberapa kali merapikan rambutnya yang kian kemari. Arthur sudah menawarkan agar keduanya beralih ke tempat yang lebih hangat, tapi ia menolak—katanya, rasi bintang jauh lebih indah dilihat dari atas sini.

Arthur memerhatikannya lamat-lamat, kemudian melontarkan sebuah tanya, “Dingin?”

“Engga—”

Sebelum Livia menyelesaikan kalimat, gerakan gesitnya melepas jaket, menyandarkannya pelan melingkupi bahu Livia. “Gue bilang juga apa, harusnya kita pindah tempat,” ucapnya sambil menautkan kancing jaket yang Livia kenakan.

“Tadi kan gue udah bilang gak mau.”

“Iya, iyaa. Gue juga lebih suka lihat bintang dari atas sini.” Arthur mengalah, mengikuti alur kemauan Livia.

Tidak ada obrolan lagi. Hanya angin yang berbicara. Ia enggan mencari topik. Arthur juga sepertinya sama.

Tangannya kembali mengepal. Menatap asap putih yang menguap dari secangkir kopi panas. Sebenarnya sejak tadi, ia selalu menghindari tatapan lelaki dengan kemeja biru. Dengan paras rupawan dan senyuman yang hanya tertuju untuk dirinya, Livia bahkan tak berani meliriknya.

“Keira bukan pacar gue, Liv. Satu-satunya orang yang gue suka itu cuma lo.”

Matanya spontan mendelik saat mendengar pernyataan tersebut. Bagaimana tidak? Belum sempat ia menyeruput latte panas, pemuda ini sudah mulai menyatakan perasaan.

I've liked you since we were in middle school.” Arthur mengambil napas dalam, netranya menatap Livia penuh harap. “Would you requite the sentiment I've been bearing all these times?

Livia termangu. Sekujur tubuhnya kaku. Ia bingung harus bereaksi seperti apa.

Namun, afeksi yang ia dapatkan malah membuatnya pilu. Lekumnya tercekat. Netranya membendung tangis. Mungkin memang berlebihan, atau sangat. Tapi emosi yang selama ini ia pendam meluap begitu saja. Seseorang yang susah payah ia lupakan, malah membalas perasaan di saat ia mulai merelakan.

“Eh? Kok malah nangis?” Arthur terlihat panik—takut kalau ia salah bicara.

Livia masih terisak, berusaha menahan air mata yang berlinang. “Gue ... gue udah suka lo dari jaman baju sailormoon, tahu gak? Waktu lo masih pake dasi kupu-kupu polkadot sama rambut lo klimis banget persis Kak Seto.”

Arthur tertawa lepas, netranya selalu bersembunyi saat tertawa. “Beneran? Dari jaman TK? Ternyata lo lebih menderita daripada gue, ya?”

“Kenapa lo lucu banget sih?” ucap Arthur seraya mengangkat tangan kanannya perlahan.

Ia tampak terkejut ketika tangan kanan Arthur membelai lembut surainya yang berantakan. Livia meliriknya sekilas, senyum khas lelaki itu belum pudar.

Bola matanya kembali beralih—belum berani saling tatap. “Then ... what are we now?” Livia sedikit menoleh agar tangan Arthur beringsut turun.

“Apa lagi? Bukannya udah jelas? Oh ... Iya, ya? harus diomongin secara langsung?”

“GAK USAH!”

Mendadak senyap. Teriakan Livia menciptakan suasana canggung. “Maaf,” ucapnya terbata. Untungnya tidak ada satupun pengunjung selain mereka. Kalau iya, mungkin Livia akan berlari lagi meninggalkan Arthur.

Hening baru pecah saat Arthur melepas tawa. “Ngapain minta maaf, Liviaaa.”

“Olivi—”

“IYAA MAU!” Livia menyela dengan cepat. Arthur benar-benar keras kepala. Gadis itu tak suka mengulang pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

Arthur terkekeh pelan, “Kenapa kita jadi canggung gini, ya? Padahal dulu enggak gini, 'kan?”

Kepalanya mendongak—menatap ribuan bintang yang tak bosan berkedip—ia tengah memberi jeda untuk ucapan selanjutnya.

Untuk kesekian kalinya, Arthur tersenyum. “Makasih, ya, Pia.”


“Kenapa bilang makasih?” Alis gadis kecil itu mengkerut. Anak lelaki yang sedang duduk di salah satu bangku membuatnya bingung.

“Makasih banyaaak, udah mau nemenin aku!” Ia menyengir—menampakkan deretan gigi putihnya.

“Iya, Arthuur. Eh kalo mau nangis lagi juga gak apa-apa!” Tangan kanannya memberi uluran—memapah anak laki-laki yang ia panggil Arthur.

“Tapi laki-laki kan gak boleh nangis,” ucap Arthur seraya berdiri—menerima uluran tangannya.

“Kenapa? Itu kan wajar,” ujarnya sambil menepuk-nepuk baju Arthur yang kotor.

“Wajar itu apa?” Arthur kecil balas tanya kebingungan.

“Tanya aja sama bapakmu!” Bola matanya memutar malas. Gadis kecil itu enggan menjawab—lebih tepatnya ia tahu, tapi tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya.

Arthur tidak terlalu memedulikan omongan temannya yang tak acuh. Ia masih terpikir tentang seseorang. “Pia ... aku mau minta tolong lagi ....” Arthur merengek kecil pada Livia—atau yang sering ia sebut 'Pia'

“Minta tolong apa?”

“Boleh?”

“Iyaaa!”

“Nggak ngerepotin kamu, 'kan?”

“ENGGAKK, CEPETAAN!”

Ia tertawa kecil mendengar teriakan Livia. Arthur suka sekali menjahili temannya—terutama Livia. Tanpa bertanya lagi, Arthur menjawab, “Boleh bantu aku cari kado buat Mama?”

“Gak jadi beli kue lagi?” tanya Livia heran.

“Gak mau ... nanti jatoh lagi.” Raut wajahnya berubah masam. Ia masih kesal. Tadi—selepas membeli kue, Arthur berlari girang sambil membawa sebuah kotak berisi tart strawberry. Tapi kemudian, kue tar yang dibawa menjadi tak berbentuk karena ulahnya—kakinya tiba-tiba tersandung bebatuan tanpa sepenglihatan.

“Yaudah, ayo!” Livia membuyarkan penyesalan. Tangannya langsung menarik lengan mungil Arthur.

“Pia ....” Langkah kaki mereka terhenti. Arthur melepas genggaman Livia.

Livia menoleh. “Apa?”

“Boleh minjem uang kamu dulu, nggak? Uangnya abis buat beli kue ...,” ucapnya malu-malu. Ini pertama kalinya Arthur meminjam sesuatu dari teman sebaya.

Livia berdecak. Gadis kecil itu menghela napas panjang. “Iya baweel.”

“Jangan tanya bawel itu apa.” Baru saja hendak membuka mulut, ucapan Livia langsung membungkam mulutnya.

“Kamu pinter banget, ya! Tahu banyak kata!” celetuk Arthur dengan senyum yang mengembang.

Livia lanjut melangkah—menyembunyikan telinganya yang berubah kemerahan. “Iya dong! Pia gitu lohh!” ucapnya sambil membusungkan dada.

“Pia!” Teriak Arthur yang tertinggal di belakang. Langkahnya dipercepat agar bisa menyusul Livia. “Nanti kalo udah gede, aku ganti!” seru Arthur dengan napas berderu.

“Gak usah.”

“Kenapa gitu?”

“Gantinya besok aja, kalo nunggu kamu gede kelamaan!”

Keduanya saling melempar tawa. Tawa renyah mereka membuat siapapun yang lewat ikut tersenyum melihatnya.

“Ayoo!! Nanti keburu gelap!” ajak Livia tak sabaran.

Arthur mengangguk. Kaki kecil mereka melanjutkan langkah. Ia menggenggam lebih dulu tangan Livia. Senyumnya merekah bersamaan dengan sinar mentari yang menerpa wajahnya. Gadis kecil itu sedikit ternganga. Entahlah, perasaan ini sangat asing baginya. Pupil matanya bergetar, detak jantungnya tiba-tiba berpacu lebih cepat.

“Aneh,” batinnya. Livia selalu biasa saja ketika melihat Arthur yang hobi tersenyum. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Mungkin karena diterpa cahaya surya? Karena itu anak lelaki ini terlihat 'berbeda?'

Livia terus menanyakan dirinya sendiri. Ia belum paham tentang semua ini, tapi kupu-kupu yang berterbangan di perutnya telah bangun lebih awal.

“Kamu demam?” Arthur menaruh telapak tangannya di dahi Livia, memastikan kalau temannya baik-baik saja.

“Enggak, tuh?”

“Wajah kamu merah!”

“Eh?” Livia refleks memegang kedua pipinya. Ia bingung kenapa bukan dahi yang terasa panas, melainkan pipinya.

Itu awal mula tabiat Livia. Pipi bulatnya akan selalu merona jika melihat anak lelaki pemilik senyum bulan sabit.


Images

“Lain kali kalo dapet cowo tuh harusnya ospek sama gue dulu!”

Suara lantangnya samar oleh bising klakson truk yang lewat. Ghaly menghela napas kasar—seharusnya ia tidak berseru di tempat umum.

Ghalya tersenyum getir. Jemarinya yang daritadi bermain tali jaket sontak berhenti. Pikirannya masih terbayang perihal sore tadi. Ketika ia baru sadar kalau Yohan—pacar pertamanya—tidak sebaik yang ia kira. Iya, pemuda itu pandai main patgulipat di belakangnya.

Ghaly benar. Semestinya, ia menuruti larangan kakaknya. Tapi Ghalya juga tidak bisa percaya begitu saja. Peringatan Ghaly waktu itu memang tak masuk akal.

Pintu kaca berderit—seseorang baru saja menarik daun pintu. “Nih,” ucap Ghaly sembari menaruh susu kotak full cream di atas telapak tangan Ghalya.

“Eh? Makasih.” Bahunya spontan meringkuk ketika dingin mendarat di permukaan tapak tangannya. Susu kotak kesukaan yang baru saja dibeli Ghaly agak beku.

Stop pikirin orang yang bikin lo sakit hati.” Ghaly membuyarkan lamunan. Kakaknya semakin berucap, “Pikirin diri lo sendiri, pikirin masa depan lo dulu, gak ada yang lebih penting dari diri lo sendiri. Jadiin pelajaran, jangan cuma diem aja, jangan jatuh ke orang yang salah lagi.”

Ghalya tersenyum masygul. Sekali lagi, ucapan Ghaly membuatnya terhenyak.

Senyum Ghalya memudar, pikirannya mendadak teringat sesuatu. “Lo yang bikin Yohan babak belur, ya?”

“Eh? Lo ... tahu?”

“Nggak usah segitunya. Gue nggak apa-apa.”

“Nggak apa-apa gundulmu! Nangis sampe mata bengkak gitu masih bilang nggak apa-apa?”

“Luka yang dia dapet gak sepadan sama luka adek perempuan yang gue jaga.”

Ghaly menang telak. Ghalya tak bisa menyembunyikan rasa sakitnya lagi. Memang selalu begitu, hanya Ghaly yang memahami perasaan tersiratnya.

“Lo kenapa nggak pacaran?” Ghalya menoleh, menatap Ghaly. Mengganti tema percakapan tiba-tiba.

Kopi panas yang sedang diseruput menyembur ketika mendengarnya. “Tiba-tiba amat?” tanya Ghaly sedikit batuk.

“Jawab ajaa.”

“Prioritas Abang itu jagain adeknya. Jadi, lo kudu cari pacar yang bener dulu! Biar lo ada yang jagain dan gue bisa pacaran.”

“Ngaco lo. Bilang aja gak ada yang mau sama lo!” Tawanya menguar, wajah masam Ghaly membuatnya terbahak.

“Nanti lo cemburu kalo gue pacaran?” goda Ghaly dibarengi wajah tengilnya.

“Dih? Lo kali! Tiap gue sama Yohan, lo chat gue mulu!”

Ghaly hanya membalas dengan kekehan kecil. Ghalya benar, kakaknya memang cemburu.

Images

“Lain kali kalo dapet cowo tuh harusnya ospek sama gue dulu!”

Suara lantangnya samar oleh bising klakson truk yang lewat. Ghaly menghela napas kasar—seharusnya ia tidak berseru di tempat umum.

Ghalya tersenyum getir. Jemarinya yang daritadi bermain tali jaket sontak berhenti. Pikirannya masih terbayang perihal sore tadi. Ketika ia tersadar kalau Yohan—pacar pertamanya—tidak sebaik yang ia kira. Iya, pemuda itu pandai main patgulipat di belakangnya.

Ghaly benar. Semestinya, ia menuruti larangan kakaknya. Tapi, Ghalya juga tidak bisa percaya begitu saja. Peringatan Ghaly waktu itu memang tak beralasan.

Pintu kaca berderit—seseorang baru saja menarik daun pintu. “Nih,” ucap Ghaly sembari menaruh susu kotak full cream di atas telapak tangan Ghalya.

“Eh? Makasih.” Ghalya sedikit kaget ketika dingin mendarat di permukaan tapak tangannya. Susu kotak kesukaan yang baru saja dibeli Ghaly agak beku.

Stop pikirin orang yang bikin lo sakit hati.” Ghaly membuyarkan lamunan. Kakaknya semakin berucap, “Pikirin diri lo sendiri, pikirin masa depan lo dulu, gak ada yang lebih penting dari diri lo sendiri. Jadiin pelajaran, jangan cuma diem aja, jangan jatuh ke orang yang salah lagi.”

Ghalya tersenyum masygul. Sekali lagi, ucapan Ghaly membuatnya terhenyak.

“Lo yang bikin Yohan babak belur, ya?” Ghalya melempar tanya—sebuah tanya untuk memastikan.

“Eh? Lo ... tahu?”

“Nggak usah segitunya. Gue nggak apa-apa.”

“Nggak apa-apa gundulmu! Nangis sampe mata bengkak gitu masih bilang nggak apa-apa?”

“Luka yang dia dapet gak sepadan sama luka adik perempuan yang gue jaga.”

Ghaly menang telak. Ghalya tak bisa menyembunyikan rasa sakitnya lagi. Memang selalu begitu, hanya Ghaly yang memahami perasaan tersiratnya.

“Lo kenapa nggak pacaran?” Ghalya menoleh, menatap Ghaly. Mengganti tema percakapan tiba-tiba.

Kopi panas yang sedang diseruput menyembur ketika mendengarnya. “Tiba-tiba amat?” tanya Ghaly sedikit batuk.

“Jawab ajaa.”

“Prioritas Abang itu jagain adeknya. Jadi, lo kudu cari pacar yang bener dulu! Biar lo ada yang jagain dan gue bisa pacaran.”

“Ngaco lo. Bilang aja gak ada yang mau sama lo!” Tawanya menguar, wajah masam Ghaly membuatnya terbahak.

“Nanti lo cemburu kalo gue pacaran?” goda Ghaly dibarengi wajah tengilnya.

“Dih? Lo kali! Tiap gue sama Yohan, lo chat gue mulu!”

Ghaly hanya membalas dengan kekehan kecil. Adiknya benar, dia memang cemburu.

Images


Deburan ombak terdengar merdu. Batu karang yang dihantam terus-menerus, tak lama lagi aus. Laut malam di pinggir kota memberi kesan tenteram bagi yang melewatinya. Begitu juga dengan dua taruna yang tengah menelusuri tepian. Keduanya memilih berjalan sejenak. Menikmati pinggiran kota dengan langkah kaki yang sengaja disamakan.

“Mau mampir bentar?” Yanggi menunjuk ke arah pantai di sebelah barat.

“Ayooooo!!” seru Ramona sambil berlari menuju pantai.

Empat kaki bertapak diantara pasir putih. Gadis itu memandang bayang rembulan yang terpancar di laut biru. Sedangkan sang lelaki, hanya fokus menatap gadis di sebelahnya tanpa memerhatikan jalan. Tiupan angin membuat surai pendek gadis itu tersibak, menampilkan paras anggun yang baru lelaki itu sadari.

“Ram.” Yanggi menghentikan langkahnya.

“Iya?” Langkah kakinya ikut terhenti, ia membalikkan badan—menghadap Yanggi di belakangnya.

“Shall we end our friendship?” Jantungnya berdegup tidak karuan, sedari tadi ia berpikir berkali-kali harus mengatakannya atau tidak.

“Loh? Kita temenan? Perasaan lo jutek mulu sama gue?” jawab Ramona santai.

Yanggi sedikit tersentak, ia kira gadis itu akan kaget atau sedikit canggung. Namun yang didapat malah ledekan di luar akal.

“Gua tonjok juga lu,” kelakarnya dengan tangan mengepal, berpura-pura melayangkan tinju ke arah Ramona.

Ramona tertawa kecil lantas membalas, “Iya oke lanjutt, lupain aja yang tadi lupainn.”

“Mau jadi ibu dari Louis?”

“HAHAHAHAH!” Tawanya pecah, gadis itu sampai refleks memukul bahu Yanggi. “NEMBAK LO JELEK BANGETT!”

“UDAH INTINYA MAU JADI PACAR GUA GAAKK!”

“MAUUUU!”

Keduanya tertawa lepas, menertawakan satu sama lain dengan puas. Disaksikan deburan ombak dan rembulan dibalik bayangan, dua remaja itu resmi menjalin hubungan.


cw // kiss

Yanggi mengajak Ramona menuju arena bowling, diam-diam meninggalkan teman-temannya. Ia tidak suka ada yang menganggunya berpacaran. Sebenarnya Yanggi menolak mentah-mentah ajakan Abun, tapi Ramona bersikeras ingin ikut, katanya agar lebih dekat dengan teman-teman Yanggi.

Kali kedua sejak pertama kalinya mereka datang ke tempat ini. Hari dimana keduanya saling mengutarakan perasaan.

“Our first date?”

“Iya, sebulan yang lalu?”

“Loh? Inget? Gue lupa tuh?”

“Dasar,” Ia terkekeh, kepalan tangannya menjitak pelan kening Ramona.

“Gimana kalooo ... taruhan?” tawar Ramona, “kalo gue dapet strikes tiga kali, traktir es krim seminggu!”

“But if i get three strikes, i get kiss you.”

Ramona tersedak air soda yang tengah ia minum. Matanya membelalak, tidak percaya dengan ucapan kekasihnya barusan.

“Kenapa? Gak bisa nerima kalo kalah? Katanya harus sportif?”

“Gak ada hubungannya ya!” Ramona menghela napas, menerima dengan pasrah tawaran Yanggi. “Okay ... let's see if you get it!”

Yanggi bersiap melemparkan bola pertama, mengambil jarak sekitar empat langkah dari garis batas lane. Dengan perhitungan, ia meluncurkan bola dari genggamannya, menciptakan satu strikes yang mulus.

“See?” Yanggi terkekeh, membuat gadis di sampingnya memutar bola mata malas.

Satu kali lemparan lagi, ia akan mendapat 'hadiah' miliknya. Lemparan kedua tadi juga sukses total, sepuluh pin yang tertata rapi runtuh seketika. Kini sorot matanya lebih fokus, postur tubuh juga lemparan dipikirkan dengan matang, tangannya diayunkan bersamaan dengan melepaskan bola.

Boo! gak bisaaa!” Ramona menjulurkan lidahnya, mengejek Yanggi yang hanya merobohkan lima pin di depan.

“Sekali lagi kalo spare, cium okay?”

“Yaaa emang bisa?” Ramona melipat tangannya di depan dada. Yakin saja semoga kesialan mendatangi Yanggi.

Di kesempatan terakhir, bola itu menggelinding di atas papan kayu, berjalan lurus mendekati lima pin yang belum roboh. Yanggi menahan napas, bola itu mengenai empat pin yang berkumpul di sebelah kanan, akan tetapi tidak mengenai sebuah pin di sisi kiri.

Namun, keberuntungan datang kapan saja, sedetik setelah bola menjatuhkan keempat pin, salah satu pin terlempar mengenai sebuah pin yang tersisa.

Mulutnya langsung bungkam. Ia agak sebal melihat raut wajah Yanggi yang sombong karena berhasil menciptakan spare. Ramona menyesal, seharusnya ia tidak mengijinkannya melakukan spare—menjatuhkan seluruh pin pada percobaan kedua.

“Come here, baby.”

“HAHAHAH! JULID AMAT MUKA LU,” tawa Yanggi melihat raut wajah Ramona yang terlihat geli.

Yanggi tidak pernah memanggilnya dengan sebutan sayang, babe, atau yang lain. Hanya memanggil Ram seperti biasa, terkadang saat membutuhkan Ramona saja panggilan itu disebutkan. Bahkan menggunakan aku-kamu juga tidak pernah. Jika dilihat sekilas, mereka lebih cocok disebut teman dekat daripada pacar.

Tawanya mereda. Sekarang, langkahnya mendekati Ramona perlahan. Mata gadis itu mengerjap—membatin apakah dirinya benar-benar akan mendapat first kiss?

Tangannya ditangkupkan pada pipi merona sang gadis, menyingkirkan helai rambut gadis itu ke belakang telinga. Matanya menatap lamat-lamat, mulai mendekati bibir merah Ramona.

Gadis itu memejamkan mata, menahan napas dengan dada yang hampir meledak. Jantungnya berdetak lebih kencang.

“Belum nikah, ngapain merem?”

“YANGGI!!”

Yanggi tertawa keras, ia sampai tidak kuat berdiri karena tawanya itu. Untung saja tidak banyak pengunjung malam ini, kalau tidak, Ramona akan menyumpal mulutnya sekarang juga.

Cup!

Kecupan itu datang tiba-tiba, tanpa aba-aba. “Udah ya? lunas,” ucap Yanggi dengan senyum yang terukir.

Wajahnya berubah merah mirip kepiting rebus. Ini hanya kecupan di pipi, tapi wajahnya benar-benar merah karena ulah Yanggi.

“Tuh kan udah di-chat Zara, yuk buru!” Ia menyalakan ponselnya, pura-pura mendapat pesan yang masuk dari kekasih Abun.

“Lain kali mau taruhan lagi?”

“GAK!”

“HAHAHAHAH!”


Gaun dengan tali tipis melingkar di bahu berkelir biru, tampak kontras dibalut kardigan navy yang ia kenakan. Sepatu model leather membuatnya tampil edgy. Hari ini ia bahkan mengalungkan sebuah liontin pemberian ibunya yang belum pernah dipakai.

“Pfft..”

Ia menoleh, dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki yang tengah menahan tawa melihatnya.

“Tuh kan! Gak cocok gue kalo pake dress!” gerutu Ramona. “Aneh ya ...?” ucapnya sambil menilik sekali lagi gaun yang ia kenakan.

“Nggak kok.” Sebuah senyum tersimpul pada wajah lelaki itu. “Cantik,” ucapnya dengan netra yang hanya terpusat ke arah gadis di depannya.

“Eh?” gelagatnya sedikit kikuk, gadis itu salah tingkah.

“Udah ayo, keburu hujan!” ajak pemuda itu ke arah motor vespa yang dibawanya.

“Mau kemana?” tanya Ramona seraya mengikuti derap langkah Yanggi.

“Ntar juga tahu.”


“Main bowling?”

“Iya,” jawab Yanggi disertai anggukan.

Mereka berdua melangkah ke dalam bangunan luas yang sepi pengunjung. Kamis sore merenggut waktu orang-orang untuk tetap bekerja, paling tidak hanya dikunjungi beberapa anak sekolahan yang baru pulang seusai menempuh pendidikan.

“Aelah, tahu gitu gue pake kaos sama jeans aja!” celetuk Ramona ketika sampai di alley—sebuah arena untuk bermain boling.

“Serius? Lu mau ngedate apa mau maen layangan?”

“Hah?”

“Ck, udah ayo buru!” decak Yanggi seraya membalikkan badan, mengambil dua buah bola yang ditata rapi pada setiap rak.

“Pernah main?”

“Belum, tapi kayaknya seru!”

“Nih!” Yanggi menyerahkan bola biru pada Ramona.

“Caranya?” tanyanya sembari menerima bola sodoran Yanggi.

“Yang dipake, jempol, jari tengah, sama jari manis.” Jari-jari yang ia sebutkan dimasukkan pada tiga lubang yang terdapat pada bola, memberi contoh kepada Ramona yang masih awam.

“Wihh, metal!” Ramona ikut memeragakan, menunjukkan jari-jarinya.

“Gak usah ngada-ngada, cepetan.”

“Dihh, gak seruu!”

Proporsi tubuhnya tegak dengan kaki kiri di belakang kaki kanan. Bola siap dilemparkan, fokusnya tertuju ke arah sepuluh pin yang disusun membentuk segitiga. Kedua kakinya bergerak empat langkah, pergelangan tangan diayunkan bersamaan dengan bola yang dilepaskan.

“Yahh! nggak kena,” keluh Ramona. Bola yang ia lempar malah menggelinding masuk ke selokan—samping papan.

“Coba lagi,” perintah Yanggi dengan nada netral.

Ramona mengambil sebuah bola lagi. Menaruh ketiga jari pada pitch—tiga buah lubang pada bola. Namun, kini tangan seseorang ikut membantu memosisikan dirinya. Kedua tangan mereka bersentuhan. Lelaki itu makin mendekat, membenarkan tangan Ramona sembari memberitahu langkah yang benar, “Jangan gini, rileks aja.”

Ramona menahan napas—dalam jarak sedekat ini bagaimana bisa ia rileks??

Yanggi mundur beberapa langkah, memberi ruang pada Ramona untuk melempar. Sesuai dengan arahan Yanggi, ia melemparnya sekali lagi. Namun, kejadian yang sama terulang kembali. Bola itu lagi-lagi terjerumus ke dalam selokan. “Ah! Gak bisaa!” decak Ramona sebal.

“Liatin.” Ia mengambil posisi berdiri dengan punggung yang tegak. Tangannya diluruskan di samping sambil punggungnya bersandar agak sedikit ke depan. Fokus pada sasaran, ia melepaskan bola dengan stabil tanpa hambatan. Membuat sepuluh buah pin yang tadinya tak bergeming menjadi roboh dalam sekali lemparan.

“Wahhh!” Matanya membola, takjub dengan Yanggi yang langsung berhasil tanpa percobaan. “Lo sengaja ya? Ngajak ke sini biar kelihatan keren depan gue?” ledek Ramona menggoda Yanggi.

“Buat apa? Gua cuma mau ngajarin lu.”

“Kenapa mau ngajarin gue?”

“I wanna hold your hand.”

Ia mengalihkan pandangan, ucapan lelaki itu benar-benar menjengkelkan. Mudah sekali membuat pipinya cepat merona. “Ngapain pake bowling segala sih ... aneh banget.”

“Kalo gua minta terus terang, lu mau?” Matanya menatap gadis itu lamat-lamat. Sengaja, tujuannya membuat gadis itu salah tingkah.

“Eh?”

“Hah eh hah eh mulu?” Yanggi terkekeh pelan. “Makan yuk! Gua laper!” Tanpa aba-aba tangan kanannya meraih lengan kiri Ramona, menggenggam tangan mungil itu dengan erat.


“Kenapa ke sini? Bukannya mahal?”

“Sekali-kali jadi orang kaya nggak apa-apa 'kan?”

“Yaaa terseraaah, asal bukan gue yang bayar.”

Denting alat makan yang terbuat dari logam saling beradu. Aroma steak yang baru masak menguar ke seluruh ruangan. Nuansa klasik dihiasi ornamen-ornamen historis membuat siapa saja betah berlama-lama di restoran ini. Kedua remaja itu duduk saling berhadapan—tampak seperti sepasang kekasih yang tengah berkencan di restoran mewah.

“Pernah pacaran?” tanya Yanggi tiba-tiba.

“Hah? Oh ... enggak,” jawabnya sambil memamah daging yang baru saja dilahap. “Gak ada yang mau temenan sama gue, gimana mau pacaran?” sambungnya seusai menelan irisan daging.

“Kalo suka sama orang, pernah?” Kini pertanyaannya berubah menjadi penasaran.

“Pernah,” balas Ramona singkat.

“Oh ....” Selera makannya menurun. Entah kenapa.

“Tahu? Orangnya siapa?”

“Kenapa tanya gua?”

“Orang yang gue suka ... waktu ditanya, jawabnya, kenapa tanya gua?”

“Gak jelasss.”

“HAHAHAH!” Ramona tertawa puas, sekarang gilirannya membuat lelaki itu salah tingkah.